Kemarin, saya barter movies collection sama seorang temen.
Kemudian, dia merekomendasikan salah satu film. "Apiikk tenann (read:
bagus banget)" katanya sedemikian rupa. Saya manggut-manggut. Oke2.
Sorenya, saya pun memutar film yang bersangkutan.
Pas banget, sama kasus yang marak terjadi di Indonesia baru-baru
ini. Kasus kekerasan seksual pada anak. Pedofilia. Baca-baca di koran, data
yang berhasil di himpun KPAI (Komite Perlindungan Anak Indonesia) dalam setahun
terakhir ini (per april 2014) sudah ada 400 kasus. MEN????
Sebenarnya saya turut prihatin sama kasus ini. Terutama sejak
kasus yang terjadi di salah satu sekolah di Jakarta mencuat di media. Sejak
saat itu banyak banget media yang ngeblow up, nyeritain kasus, hampir setiap
hari, hampir setiap waktu. Dari awalnya prihatin, saya jadi penasaran, kemudian
terus-terang saya mulai fokus pada kegiatan saya lainnya (maaf).
Pernah gak sih kita berpikir bahwa kita tau perasaan keluarga
korban?
Mungkin sering ya.
Tapi mungkin kita belum benar-benar tahu.
Jadi, perasaan simpati saya berubah setelah menonton film ini.
Judulnya HOPE. Harapan. Ceritanya tentang keluarga kecil dengan kehidupan yang
standar banget. Si Ayah kerja di pabrik. Si Ibu buka toko kelontong kecil di
rumah. Si anak masih kecil nih. Cewek. Namanya Kim So-Won kalo gak salah. Saya
lupa marganya, jadi berikutnya dipanggil So-Won aja ya. Nah berdasarkan
subtitle nya ketika si Ayah manggil anaknya, diterjemahkannya tu sebagai Hope,
jadi saya menduga bahwa arti nama anak itu sendiri Hope. Dugaan saja.
cover movie nya, dapet dari googling sih..
So Won sewaktu di sekolah
Jadi, masalah itu mulai pada suatu pagi gerimis. Kejadiannya pada
waktu So Won mau berangkat sekolah. Si anak pergi ke sekolah seperti biasa.
Ibunya sempat bilang mau nganter, tapi anaknya bilang gak perlu. Terus si Ibu
berpesan supaya lewat jalan besar aja, jangan lewat jalan kecil yang berlumpur.
Si anak nurut tuh. Pas dalam perjalanan, sudah deket banget sama sekolah,
tiba-tiba dia dicegat sama seorang Ahjussi (paman/ bapak2). Bapaknya tampangnya
lusuh banget. Jenggot sama rambutnya dibiarin gak terurus. Dia basah oleh hujan
dan bawa layangan. Dari penampilannya aja udah kelihatan ada kata
"WARNING" disitu.
"Nak, bapak kehujanan nih. Boleh berbagi payungnya?"
kata Bapak itu.
Si So-Won tu bilang gini, "Tapi saya terlambat pak,"
Daann.. settingnya berubah ke hujan yang deras. Terus ke pabrik
tempat ayahnya kerja dengan giat. Terus ke rumah tempat ibu nya lagi bikin
bibimbap (nasi campur ala-ala gitu) buat sarapan beliau. Terus ke gudang kecil
di sebuah gang, tak jauh dari sekolah. Ada tangan kecil yang tergeletak tak
berdaya dan kotor entah karena lumpur atau apa, pelan menggapai handphone
berwarna pink di tanah.
Yah begitulah. Beberapa saat kemudian, si Ayah dan si Ibu mendapat
kabar dari kepolisian bahwa kondisi anaknya tengah kritis. So-Won mengalami
kerusakan parah pada anus hingga rektumnya. Akhirnya untuk menyelamatkan nyawa
anak kecil itu, ia harus menjalani operasi pengangkatan anus, dan harus
menggunakan anus buatan seumur hidupnya. Nyawanya pun tertolong. Operasinya
berhasil.
Begitu sadar, si So-Won bertanya pada ayahnya.
"Ayah, bagaimana pekerjaanmu?"
Terus terang menurut saya itu adegan yang cukup mengharukan. Anak
kecil itu tahu bahwa ayah dan ibu nya sibuk pekerja. Oleh karena itu, ia
sendirilah yang menelepon 911 (kalo disini 119 kali ya). Dia juga menyebutkan
kepada ayahnya ciri-ciri orang jahat itu. Orang itu harus ditangkap, katanya.
Si Ayah berusaha menenangkan anaknya.
"Aku ngantuk, ayah. Aku takut aku akan lupa begitu
tidur" katanya. Kemudian si Ayah berjanji akan menangkap si penjahat.
Beberapa hari kemudian, polisi tengah mengantongi nama-nama yang
sesuai dengan sidik jari yang ditemukan di TKP. Namun polisi kesulitan
mengeluarkan surat ijin penangkapan karena belum cukup bukti. Sidik jari bukanlah
bukti yang meyakinkan karena siapa saja bisa berada disitu. Kecuali ada bukti
DNA yang sesuai atau kesaksian dari korban. Oleh karena itu dengan terpaksa si
Ayah meminta So-Won untuk menunjuk "Ahjussi jahat" yang telah tega
mencelakainya. Ditemani psikiater (dan direkam oleh polisi) So-Won pun cukup
sadar untuk menunjuk pada daftar orang yang disediakan kepolisian. Berbekal
dari itulah penangkapan dilakukan.
Begitu pelaku ditangkap, kasus tersebut tercium media. Kasusnya
menjadi besar. Tak hanya surat kabar dan radio, namun televisi juga
menayangkannya. Di kantor polisi, bahkan di rumah sakit, media berusaha
mengejar berita. Di kepolisian, ketika Si Ayah kesana karena mendengar kabar
bahwa pelakunya telah tertangkap, media tak sengaja mengetahuinya. Udah gitu
begitu balik ke rumah sakit, udah banyak media aja yang ngeliput.
Terendap-endap ia ke anaknya, ternyata anaknya udah dipindah ke bangsal karena
alasan biaya, maklum lah mereka berasal dari keluarga biasa. Nah, di bangsal
itu, justru orang-orang disana, para keluarga pasien yang lainnya rame-rame
ngegosip tentang kasus pedofilia itu. Tidak ingin So-Won mendengarnya dan jadi
minder, ia segera dipindah ke kamar, yang lebih ekslusif tak mengapa, asal
psikologis anaknya tidak semakin turun. Pas pemindahan itu mereka papasan sama
media, apalagi media udah tahu tampang si Ayah kan. Akhirnya, si ayah gendong
So-Won sambil lari-larian ke kamar yang baru. So-Won yang terkejut hanya mampu
bengong ngeliat media yang tengah berusaha mengambil gambarnya. Begitu sampe di
kamar, So-Won bertanya pada ayahnya.
“Ayah, apa aku telah berbuat jahat?” mungkin karena mereka seolah
melarikan diri dari orang-orang itu yaa. Si Ayah pun menggeleng cepat.
Kemudian, air dari kantong anus So-Won kayaknya bocor. Air
berwarna kuning (maaf ya) keluar merembes ke baju dan kasur. So-Won keliatan
shock. Ayahnya jadi shock juga. Segera Ayahnya berusaha menenangkan So-Won
sambil berusaha membersihkan nya. Ia berusaha membuka baju So-Won untuk
menggantinya. Dan mungkin karena masih shock, masih trauma dan sebagainya,
SoWon berusaha keras menolaknya. Namun ayahnya terlanjur dalam kondisi panik.
Ia tidak bisa mendengar penolakan So Won. Hingga gadis kecil itu mengalami
kram. Detak jantungnya naik pesat. Sempat tertegun, ayahnya kemudian berusaha
memanggil medis. Untunglah, nyawa So Won selamat.
Singkat cerita nih, si Ibu ternyata hamil adiknya So Won, usia
kandungan sudah 5 bulan. Dan sejak kejadian itu, So Won tidak mau bertemu
ayahnya. Si Ayah kemudian gak patah semangat. Ia rela berkostum kokomong (tokoh
kartun kesukaan So Won) di setiap malam untuk menyemangati anaknya itu.
Sementara itu, kasus persidangan penjahatnya juga dimulai. Tapi penjahatnya
mengaku tidak ingat karena ia sedang mabuk berat. Bahkan ia mengaku bahwa baju
dan sepatunya hilang beberapa hari sebelumnya dan dikembalikan setelah kejadian
itu. Gak masuk akal banget kan??
Serius! Saya jadi inget kasus di Indonesia. Mereka udah ngerenggut
masa ceria seseorang –atau lebih- dan dengan santainya nyari alasan? Hei.
Lanjut ya.
So Won perlahan pulih. Dibantu seorang psikiater, ia berkembang,
dari yang sebelumnya tak mau bicara sama sekali, kemudian berkomunikasi dengan
menulisnya, hingga ia mau mengucapkan sendiri jawaban atas pertanyaan yang
diajukan psikiater. Ada beberapa scene yang membuat air mata saya tidak bisa
berhenti pemirsa. Ada saat, So Won menceritakan kepada psikiater itu pada waktu
kejadian terjadi.
“Sewaktu ia memintaku membagi payung dengannya, aku sempat ragu.
Aku tahu dia termasuk orang asing, bahkan aku sudah terlambat masuk ke sekolah,
tapi dia basah kehujanan. Jadi aku pun membaginya. Semua orang menyalahkanku.
Meskipun aku berusaha berbuat baik,”
Sir?
Seorang anak kecil, mempunyai pemikiran seperti itu. Bukankah gak
berlebihan kalo ada ungkapan bahwa anak kecil itu seperti malaikat, innocent, suci. Mereka tulus, guys...
#hol
Terus, ada lagi adegan yang... ckckck, bikin saya mengutuk pelaku
pedofilia. Dimanapun.
So Won suatu waktu menceritakan tentang neneknya.
“Nenekku, ada kalanya ia merasa sangat tertekan. Ia sering
mengucapkan suatu hal,”
“Apa itu?” tanya psikiaternya.
“Aku ingin mati, aku ingin
mati...”
Meeeeeeenn. Itu terucap dari mulut seorang anak kecil, seolah itu
mewakili dirinya sendiri. Psikiaternya sempat tertegun beberapa saat.
“Menurutmu, apa arti mati itu?”
So Won menunduk.
“Jika aku tidak pernah dilahirkan di dunia...”
JLEB! JLEBB!
Seorang anak kecil, sudah kehilangan keinginan untuk hidup seperti
itu??
Aku langsung membayangkan para korban, tak hanya di Indonesia,
tapi juga di belahan bumi lainnya. Apakah mereka juga sempat berpikir seperti
itu?
#hol
Yah, intinya sihh, si So Won ini punya penampilan yang tegar, tapi
hatinya benar-benar terluka. Suatu saat psikiater tanya, tempat yang paling
ingin dia kunjungi setelah keluar dari rumah sakit. So Won menjawab sekolah. Ia
kangen. Sama teman-temannya juga. Tapi itu tak mungkin. Karena ia malu. Ia tak
ingin teman-temannya tahu keadaannya.
So Won benar-benar sudah kehilangan semangat.
Tapi untung saja ia memiliki keluarga dan teman-teman yang
menyayanginya. Ketika sekolah, ia selalu berangkat ditemani teman-temannya yang
dulu sering mengusili. Bahkan, ayahnya disela-sela waktu makan siang beliau,
selalu pergi ke sekolah So Won dan berkostum kokomong hanya untuk menghibur
anaknya itu.
Ni sewaktu si kokomong menghibur So Won di
sekolah
Ternyata So Won udah tahu kalo si kokomong
tu ayahnya
Akhir cerita sih, So Won harus bersaksi di pengadilan. Tapi lantaran
penjahatnya diyakini lagi mabuk –yang diperkuat oleh kesaksian So Won dari bau
alkohol si ahjussi pada saat itu- maka hukumannya jauh lebih ringan, cuman 12
tahun penjara. Bahkan nanti begitu keluar, si So Won belum genap 20 tahun.
Merasa tidak terima dengan keputusan hakim, ayah So Won sempat mengambil papan
nama dari kayu di pengadilan untuk ditusuk ke penjahat itu, tapi cepat-cepat
dihentikan sama So Won.
So Won sewaktu berusaha menghentikan ayahnya
Ruwet banget rasanya perasaan saya waktu itu.
Ahhh, ternyata masih baik aja hatinya So Won meski udah dijahati
kayak gitu. Tapi mungkin kalo dilanjutin bisa aja ayahnya dipenjara juga kan
ya. Tapi gitu ya, gara-gara orang mabuk malah hukumannya diperingan dengan
alasan dia tak sengaja dan tak ingat. Mengemudi mobil saat mabuk aja kena
tilang, bukannya loginya harusnya hukumannya ditambah? Sama aja dah
dimana-mana.
Tetep aja, korban tetep jadi korban. Mereka minta peradilan bukan
karena ingin mengembalikan semua itu seperti sebelum mimpi buruk itu terjadi.
Tapi, mereka ingin keadilan. Dan memastikan bahwa mereka bisa hidup lagi
setelah itu, meskipun tidak akan sama lagi. Dan tidak ada lagi korban yang
jatuh lainnya.
Mungkin yang terakhir sedikit hipokrit, tapi.. bisa jadi seperti
itu.
Dari film itu, saya jadi lebih memahami perasaan korban. Mungkin
saya tidak benar-benar tahu bagaimana perasaan mereka. Entahlah. Tapi rasanya
tidak adil untuk mereka.
Ya.
Oh ya, ada quote yang menarik dari film ini.
Orang yang paling sedih bisa tersenyum paling cerah, karena mereka
tidak ingin orang lain merasakan rasa sakit yang sama seperti yang dialaminya
(NN).
Kamu dilahirkan adalah anugerah.
P.s thanks to my dearest friend, Gabriel Arni for the movie
recommendation J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar