ini adalah tugas saya dalam sebuah mata kuliah. jadi mohon tidak dipergunakan secara tidak bertanggungjawab. copy paste data diperbolehkan (hanya DATA) dengan menyertakan sumber. biar artikel di internet nggak sama semua ya :) selamat membaca :))
Keefektifan
Moratorium Pegawai Negeri Sipil
Studi
Kasus Provinsi Jawa Barat
A. Permasalahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Provinsi Jawa Barat
Berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dengan Daerah, sumber penerimaan daerah terdiri dari 2, yaitu
pendapatan daerah dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah bersumber dari
pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, lain-lain pendapatan.
Sumber PAD adalah pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan, hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak
dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing, serta komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai
akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
Ditilik dari penjelasan tersebut, maka seharusnya PAD terbesar berasal
dari hasil pengelolaan dan penjualan kekayaan daerah serta penjualan ataupun
pengadaan barang dan jasa daerah sebagai bentuk otonomi daerah. Namun seperti kebanyakan kasus di daerah
lain, PAD terbesar Provinsi Jawa Barat justru berasal dari pajak daerah dengan
kontribusi hingga 94% (http://smeru.or.id diakses 15 April 2011). Pajak kendaraan
bermotor (PKB) menjadi penyumbang PAD terbesar bagi Provinsi Jawa Barat dengan
prosentase hampir 40% (http://www.tribunnews.com/2011/04/20/pajak-kendaraan-penyumbang-terbesar-pad-jabar-dan-banten
diakses 21 September 2011). Pajak dapat diartikan sebagai pungutan
yang dilakukan oleh pemerintah dan bersifat memaksa. Memang tidak dapat
dipungkiri keberadaan pajak ini sangat membantu baik dalam hal pembatasan
kekayaan individu/ badan usaha melalui disinsentifnya, maupun dalam pemasok
pendapatan asli daerah. Namun di lain sisi, dapat dilihat bahwa daerah masih
belum dapat mengelola sumber daya alam dan manusianya menjadi sesuatu yang
demikian bernilai dan mampu memberikan kontribusi yang lebih dibandingkan pajak
daerah itu sendiri.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sumber pendapatan daerah juga
dapat berupa dana perimbangan. Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Dana ini terdiri dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi
khusus (DAK), dan dana bagi hasil.
Dana
yang berasal dari pemerintah pusat ini sesungguhnya berasal dari dana yang
dikumpulkan dari bagian hasil penerimaan PBB dan bea perolehan hak atas bumi
dan bangunan (Nawatmi, 2006 dalam Bawono, 2008). Pemberian dana ini memiliki
tujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dan pemerintahan
daerah dan antar-pemerintah daerah. Sayangnya dalam kebanyakan praktek, dana
alokasi umum yang diberikan pemerintah pusat ini sering menjadi sumber
pendanaan utama pemerintah daerah dalam membiayai operasional pembangunan di
daerahnya, bahkan di beberapa daerah proporsi DAU dalam PAD dapat mencapai 80%
(http://www.menpan.go.id/index.php/liputan-media-index/752-moratorium-belanja-pegawai
diakses 20 September 2011). Hal tersebut juga terjadi di Provinsi Jawa
Barat. Sejak pelaksanaan otonomi daerah, transfer dana dari pemerintah pusat
justru semakin tinggi yaitu dari 58,17% menjadi 67,16% (http://repository.ipb.ac.id diakses 17 April 2011). Senada dengan hal
tersebut, proporsi PAD terhadap APBD pada tahun 2000 meningkat dari 31% menjadi
48,1% (http://smeru.or.id diakses 15 April 2011). Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1
Realisasi Penerimaan Pemerintah Daerah
Kabupaten / Kota
Rata-data per Tahun di Jawa Barat Tahun 1995
– 2005 (Tahun Dasar 1993)
Uraian
|
Sebelum Desentralisasi (1995 – 2000) (milyar rupiah)
|
Sesudah Desentralisasi (2001 – 2005) (milyar rupiah)
|
Pendapatan Asli Daerah
|
108,03
(18,78)
|
358,26 (10,11)
|
Pajak
Daerah
|
40,05
(6,96)
|
146,96 (4,15)
|
Retribusi
Daerah
|
56,11
(9,76)
|
147,85 (4,17)
|
Laba
BUMD
|
2,21
(0,38)
|
6,22 (0,20)
|
PAD
lainnya
|
17,98
(3,13)
|
55,99 (1,58)
|
Dana Perimbangan
|
426,41
(74,15)
|
2.859,45 (80,67)
|
Bagi Hasil
|
91,89
(15,98)
|
462,83 (13,06)
|
Bagi Hasil Pajak
|
39,40
(13,81)
|
388,86 (10,97)
|
Bagi Hasil SDA
|
12,49
(2,17)
|
73,98 (2,09)
|
DAU & DAK
|
3334,52
(58,17)
|
2.396,62 (67,61)
|
Pinjaman Daerah
|
3,32
(0,58)
|
15,61 (0,44)
|
Sisa Anggaran
|
21,57
(3,75)
|
154,94 (4,37)
|
Pendapatan lain
|
7,48
(1,3)
|
156,3 (4,41)
|
TOTAL
|
575,1
(100)
|
3.5444,54 (100)
|
Sumber
: Statistik Keuangan Daerah Kabupaten/Kota , berbagai tahun terbitan
Ket. Angka di dalam ( ) merupakan presentase
Pendapatan daerah baik dari PAD, dana perimbangan, maupun dana lainnya,
digunakan pemerintah daerah untuk membiayai belanja daerah. Menurut
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, belanja daerah adalah semua kewajiban
daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
Belanja pemerintah daerah
dibagi dalam 2 bentuk
seperti yang terdapat
dalam Laporan Realisasi
Anggaran dan Pendapatan Belanja
Daerah, yakni sebagai berikut :
1) Belanja
Rutin
Belanja yang wujudnya
tidak berupa fisik
dan terjadi secara
terus menerus sepanjang periode anggaran. Sebagai contoh
belanja gaji dan horarium pegawai, belanja perjalanan
dinas, belanja barang dan belanja
lain-lain. Belanja rutin umumnya
digunakan untuk membiayai
operasional pemerintah
daerah dan hasilnya
tidak dapat dinikmati
secara langsung oleh masyarakat.
2) Belanja
Pembangunan
Selain dari belanja
rutin pemerintah juga mengeluarkan belanja
yang sifatnya tidak rutin dan umumnya menghasilkan wujud fisik yang
manfaatnya lebih dari satu tahun. Belanja pembangunan dikeluarkan oleh
pemerintah yang mana manfaatnya dapat
dirasakan secara langsung
oleh masyarakat karena memang
belanja pembangunan dimaksudkan
untuk peningkatan pelayan publik. Belanja pembangunan
ini pada akhirnya
akan menghasilkan kapital publik
dan dapat dinikmati secara langsung oleh
masyarakat. Sebagai contoh belanja
untuk pembangunan jalan,
gedung-gedung sekolah, rumah sakit, pembangunan jembatan
dan sebagainya.
Harus dicermati dalam hal ini bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan
provinsi dengan jumlah belanja pegawai tertinggi setelah DKI Jakarta, yaitu
sebesar Rp 1,62 triliun sementara DKI Jakarta adalah Rp 7,58 triliun. Kemudian Provinsi
Jawa Timur berada pada posisi ke-3 yaitu mencapai Rp 1,48 triliun (http://informasicpnsbumn.com/berita/beberapa-provinsi-dengan-belanja-pegawai-tertinggi.html
diakses 21 September 2011). Berdasarkan data tersebut maka dapat
diketahui bahwa jumlah tersebut bukan suatu hal yang dapat dibanggakan. Hal ini
dikarenakan jumlah pegawai tidak sebanding dengan kapabilitas yang dimiliki
untuk menjalankan pemerintahan yang bersih dan pintar. Semakin banyaknya jumlah
pegawai maka biaya belanja pegawai semakin tinggi.
Beban belanja pegawai pada APBN memang
semakin berat. Pada RAPBN 2012, belanja pegawai menjadi alokasi belanja
tertinggi yaitu sebesar Rp 215,7 triliun, mengalahkan belanja subsidi yang
selama ini mendominasi. Hal ini dapat terjadi akibat adanya kebijakan
kepegawaian yang tidak memperhatikan dampaknya terhadap anggaran negara. APBN
harus membiayai perekrutan pegawai baru, pemberian gaji ke-13, kenaikan gaji
pokok sebesar 5 – 20% sejak tahun 2006, kenaikan berbagai tunjangan dan
pemberian tambahan uang makan, serta pembayaran penuh dana pensiun yang
sebelumnya dibagi dua dengan Taspen sejak tahun 2009 (Nota Keuangan RAPBN 2012,
IV-80) (http://www.menpan.go.id/index.php/liputan-media-index/752-moratorium-belanja-pegawai
diakses 20 September 2011).
Beban APBN yang semakin sulit dipikul akibat pembengkakan biaya belanja
pegawai ini juga disebabkan oleh kebijakan pemberian remunerasi yang memiliki
tujuan mereformasi birokrasi. Kebijakan ini merupakan pemberian penghargaan
atau balas jasa pada pegawai yang dianggap berprestasi dan berdaya saing
tinggi. Kebijakan ini dimulai tahun 2007 dan diterapkan di tiga kementeriaan /
lembaga yang kemudian di tahun 2011 diterapkan pada 14 kementerian / lembaga.
Untuk tahun 2010 saja pemerintah harus menggelontorkan dana sebesar Rp 13,4
triliun demi remunerasi.
Belanja pegawai juga dilakukan terhadap Lembaga Non-struktural (LNS).
Berdasar Laporan Keuangan Pemerintah Pusat pada tahun 2007, kurang lebih
terdapat 76 unit LNS dengan biaya Rp 483,3 miliar. Namun pada tahun 2010,
terdapat 101 LNS dengan beban belanja pegawai sebesar 1,87 triliun.
Kebijakan anggaran dan kepegawaian yang tidak selaras dengan pusat juga
memperburuk kondisi anggaran daerah. Seperti yang sempat dijelaskan sebelumnya,
dana perimbangan yang diberikan oleh pusat memberikan proporsi hingga 80%
terhadap total pendapatan daerah, sementara lebih kurang 68% dana alokasi umum
(DAU) digunakan untuk belanja pegawai dan tunjangan guru. Oleh karena itu,
tidak ada insentif yang diberlakukan untuk pemerintah daerah dalam merampingkan
birokrasi dan meningkatkan pendapatan. Kebijakan DAU juga tidak memberikan
disinsentif bagi pemekaran daerah. Daerah otonom baru tentu membutuhkan pegawai
baru sehingga DAU menjadi tumpuan biaya baik dari belanja rutin maupun belanja
pembangunan. Akibatnya, penerimaan DAU berkurang dari Rp 358 milyar pada tahun
2008 menjadi Rp 351,7 milyar pada tahun 2009 (Nota Keuangan, 2011) (http://www.menpan.go.id/index.php/liputan-media-index/752-moratorium-belanja-pegawai
diakses 20 September 2011).
Melihat hal tersebut, maka mulai tanggal 1 September 2011, kebijakan
moratorium pegawai negeri sipil resmi diberlakukan hingga 16 bulan ke depan
atau hingga 31 Desember 2011. Kebijakan ini ditetapkan melalui
surat keputusan bersama yang ditandatangani Menteri Keuangan, Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Menteri Dalam
Negeri. (http://www.menpan.go.id/index.php/liputan-media-index/752-moratorium-belanja-pegawai
diakses 20 September 2011).
B. Moratorim PNS
Moratoirum
ini awalnya diusulkan sendiri oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia yang
kemudian disetujui oleh tim reformasi birokrasi. Moratorium adalah tidak
dilakukannya pengangkatan atau pekrutan pegawai negeri sipil selama sementara
waktu. Hal ini merujuk pada jumlah PNS di Indonesia periode 13 Mei 2011 yang tercatat
sebanyak 4.708.330 orang atau 1,98% dibanding jumlah total penduduk sebesar 237
orang. Adapun jumlah PNS pusat mencapai 916.493 orang atau sekitar 19,5%
sementara sebesar 3.791.837 orang atau 80,5% merupakan PNS daerah. (http://informasicpnsbumn.com/berita/meskipun-ada-moratorium-pns-pegawai-honorer-tetap-diangkat-menjadi-pns.html
diakses 20 September 2011).
Menurut
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, aturan moratorium ini tidak berlaku bagi
pegawai pelayanan publik dan sisa pegawai honorer yang belum dinagkat serta
pegawai tidak tetap. Moratorium juga tidak dikenakan bagi PNS yang bersifat
pelayanan publik, misalnya tenaga pendidik, tenaga perawatm UPT kesehatan
pelabuhan, pengamat meteorologi dan goefisika dan lain-lain. Hal ini
dikarenakan masih banyak daerah-daerah tertinggal yang membutuhkan
tenaga-tenaga tersebut (http://www.antaranews.com/berita/275774/moratorium-pns-kurangi-beban-belanja-pegawai
diakses 20 September 2011).
Program moratorium PNS ini diperkirakan dapat menghemat anggaran sekitar
Rp 3,2 triliun. Menurut Menteri Dalam Negeri, jika 100 ribu pegawai dikali
dengan Rp 2 juta untuk setiap gaji pokok dan dikalikan 16 bulan. Apalagi pada
tahun ini kurang lebih terdapat 107 pegawai yang menyatakan pensiun. (http://www.menpan.go.id/index.php/liputan-media-index/752-moratorium-belanja-pegawai
diakses 20 September 2011).
Selama masa moratorium, jumlah kebutuhan PNS direncanakan akan ditata
sesuai dengan jabatan dan beban kerja. Pemerintah pusat dan daerah akan
melakukan redistribusi pegawai sesuai kompentensi yang dimiliki. Apabila dalam
proses redistribusi tersebut ditemukan PNS yang tidak dapat disalurkan, maka
pegawai yang bersangkutan ditawarkan untuk pensiun dini atau diberhentikan
dengan hormat dengan tetap mendapat hak-hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan. (http://www.antaranews.com/berita/275774/moratorium-pns-kurangi-beban-belanja-pegawai
diakses 20 September 2011)
C. Keefektifan
Moratorium PNS
Moratorim pegawai negeri
sipil ini sejujurnya merupakan hal yang baik. Dalam praktek di lapangan banyak
PNS yang tidak bekerja sebagaimana mestinya. Entah itu kasus korupsi seperti
yang terjadi pada Gayus yang notabene merupakan pegawai di Kementerian Keuangan
yaitu Ditjen Pajak sendiri, maupun kasus dimana PNS tidak dapat melakukan
tugasnya dengan baik dan melimpahkannya pada pegawai honorer sehingga mereka
dapat berleha-leha. Kasus umum lainnya adalah para pegawai tidak cukup cekatan
dalam melayani masyarakat sehingga banyak yang merasa kecewa terhadap kinerja
mereka. Terkadang dalam instansi-instansi pemerintahan, masyarakat harus
membayar sejumlah uang untuk melancarkan proses pelayanan mereka di luar
pungutan yang seharusnya.
Moratorium juga bisa
menjadi sangat efektif jika para pegawai negeri sipil dapat didistribusi sesuai
dengan bidang dan kemampuan masing-masing sehingga belanja daerah tidak sia-sia
dan dapat lebih bermanfaat. Pengurangan jumlah pegawai-pegawai yang kurang
berkompeten setelah adanya moratorium tersebut dapat menghemat biaya anggaran
dan dapat dialokasikan untuk belanja pembangunan yang dapat bermanfaat secara
langsung bagi masyarakat.
Selain itu, birokrasi
pemerintahan dapat lebih ramping dan terstruktur sehingga diharapkan tidak ada
lagi pegawai negeri sipil yang menganggur di kantor atau menyuruh pegawai
honorer untuk mengerjakan pekerjaan mereka.
Namun, di sisi lain
moratorium dianggap kurang tepat sasaran. Hal ini dikarenakan bengkaknya
belanja APBN bukan dikarenakan besarnya jumlah PNS yang ada, namun besarnya
dana yang digelontorkan untuk setiap pegawai. Dalam kajian yang dilakukan Forum
Indonesia untuk Transparansi Anggaran, rata-rata kenaikan jumlah pegawai dalam
5 tahun terakhir adalah 2%, sementara kenaikan biaya belanja pegawai jauh lebih
signifikan yaitu 20%. Hal ini berarti beratnya belanja pegawai lebih
dikarenakan semakin meningkatnya ongkos pegawai dibandingkan dengan pertumbuhan
jumlah pegawai.
Moratorium pegawai
negeri sipil ini juga diperkirakan kurang dapat terealisasi sebagaimana
mestinya. Terbukti dengan pengalokasian dana belanja pegawai dalam RAPBN 2012
justru meningkat menjadi Rp 32,8 triliun. Di dalam rencana APBN tersebut juga
ada pengalokasian gaji bagi tambahan pegawai baru (Nota Keuangan RAPBN 2012,
IV-205) (http://www.menpan.go.id/index.php/liputan-media-index/752-moratorium-belanja-pegawai
diakses 20 September 2011).
Kebijakan moratorium PNS
dan membengkaknya beban belanja pegawai ini seharusnya ditanggapi dengan
mengkaji ulang pemberian remunerasi dan struktur birokrasi pemerintahan yang
semakin gemuk karena jumlah pegawai yang melimpah. Pemberian remunerasi
seharusnya diikuti dengan peningkatan produktivitas dan kapabilitas pegawai,
dan bukan menjadi kedok kasus-kasus korupsi seperti yang terjadi pada Gayus
Tambunan. Pegawai yang tidak produktif dan kompeten, serta memiliki kekayaan
yang tidak wajar seharusnya segera ditangani dengan baik sehingga dana yang
diperoleh dari hasil tersebut dapat dialihkan ke kebutuhan belanja daerah yang
belum terlaksana.
Adapun Provinsi Jawa
Barat sendiri pada umumnya akan mengikuti kebijakan pusat untuk tidak menerima
CPNS baru dari jalur umum. Hal ini dikarenakan jumlah pegawai yang sudah
mencukupi. Sejak tahun 2006 hingga 2011 jumlah tenaga kerja kontrak atau
honorer yang sudah diangkat Pemerintah Provinsi Jawa Barat adalah 4000 orang.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga berencana untuk merampingkan birokrasi
pemerintah dengan program pensiun dini dengan target minimal 100 PNS dalam 2
tahun.
Sementara itu hal yang
menarik terjadi di Kabupaten Sukabumi yang masih masuk dalam wilayah
pemerintahan Provinsi Jawa Barat. Pemerintah Kabupaten Sukabumi menolak
penerapan moratorium PNS dengan alasan masih kekurangan pegawai. Kabupaten
terluas se-Jawa dan Bali ini hanya memiliki 16.300 orang PNS sementara
rata-rata secara nasional, jumlah pegawai dibandingkan dengan jumlah penduduk
adalah 2%. Penduduk Kabupaten Sukabumi sendiri berjumlah 2,3 juta orang
sehingga secara ideal dibutuhkan 23 ribu orang pegawai. Dengan jumlah pegawai
yang ada, Pemerintah Kabupaten Sukabumi menggolontarkan dana hingga Rp 800
milyar.
Lain halnya dengan
pemkab, pendapat berbeda dilontarkan oleh DPRD Kabupaten Sukabumi. DPRD
kabupaten tersebut justru mendukung adanya moratorium karena diperkirakan dapat
menghemat anggaran belanja pegawai. Dalam APBD 2011, sebesar 70% belanja daerah
digunakan untuk belanja rutin atau tidak langsung, salah satunya adalah belanja
pegawai, sementara sisanya dianggarkan untuk belanja pembangunan atau langsung
dapat dirasakan oleh rakyat (http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2011/07/28/pemkab-sukabumi-tolak-moratorium-cpns
diakses 21 September 2011).
Terlepas dari
keseluruhan hal tersebut, kebijakan apapun yang direncanakan seharusnya
menempatkan kesejahteraan rakyat dalam kepentingan utama karena pegawai bekerja
untuk melayani rakyat dan bukan untuk menyengsarakan rakyat. Apalagi dengan
adanya kebijakan mengenai moratorium dan otonomi daerah, merupakan kesempatan
untuk setiap daerah otonom memperbaiki kinerja birokrasi pemerintahan
masing-masing sehingga tidak ada lagi kasus korupsi di tingkat daerah (maupun
pusat), serta tidak ada lagi kasus pegawai yang tidak berkompeten dan
berleha-leha dalam jam kerjanya. Tujuan akhirnya tetap pada kesejahteraan
masyarakat dimana masyarakat dapat bangga dan puas terhadap kinerja pemerintah
daerahnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonymous.
2009. IPB : Gambaran Umum, Kondisi Fiskal, Kemiskinan, dan Ketahanan Pangan
di Jawa Barat. (online) (http://repository.ipb.ac.id diakses 17 April 2011).
Anonymous. 2011. Beberapa Provinsi Dengan Belanja Pegawai Tertinggi. (online) (http://informasicpnsbumn.com/berita/beberapa-provinsi-dengan-belanja-pegawai-tertinggi.html
diakses 21 September 2011).
Anonymous. 2011. Meskipun Ada Moratorium PNS, Pegawai Honorer Tetap Diangkat Menjadi PNS.
(online) (http://informasicpnsbumn.com/berita/meskipun-ada-moratorium-pns-pegawai-honorer-tetap-diangkat-menjadi-pns.html
diakses 20 September 2011).
Anonymous. 2011. Pemkab Sukabumi Tolak Moratorium CPNS (online) (http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2011/07/28/pemkab-sukabumi-tolak-moratorium-cpns
diakses 21 September 2011).
Prayogo. 2011. Moratorium (Belanja) Pegawai.
(online) (http://www.menpan.go.id/index.php/liputan-media-index/752-moratorium-belanja-pegawai
diakses 20 September 2011)
Saputra, Desy. 2011. Moratorium PNS Kurangi Beban Belanja Pegawai. (online) (http://www.antaranews.com/berita/275774/moratorium-pns-kurangi-beban-belanja-pegawai
diakses 20 September 2011).
Suhendi, Adi & Johnson Simanjuntak. 2011.
Pajak Kendaraan Penyumbang Terbesar PAD
Jabar dan Banten. (online) (http://www.tribunnews.com/2011/04/20/pajak-kendaraan-penyumbang-terbesar-pad-jabar-dan-banten
diakses 21 September 2011).
Usman,
Syaikhu, Nina Toyamah, M. Sulton Mawardi, Vita Febriany, Ilyas Saad. 2002. Otonomi
Daerah dan Iklim Usaha: Kasus Tiga Kabupaten di Jawa Barat. Lembaga
Penelitian SMERU. (online) (http://smeru.or.id diakses 15 April 2011).
Shoutbox
Tidak ada komentar:
Posting Komentar