I do
Galih
Siang yang
terik ketika mataku setengah terbuka, dari tirai jendela kamarku yang tertiup
angin terlihat sosok seorang gadis yang menarik perhatianku. Kuputuskan untuk
menahan semenit lagi rasa kantukku dan berjalan mendekati jendela. Tak
membutuhkan waktu lama bagiku untuk segera tertarik pada pemandangan di depan
rumah.
Gadis itu
terlihat cantik. Menarik. Rambutnya yang dikuncir kuda memperlihatkan
tengkuknya yang mulus. Ia mengenakan kaos putih bergambar owl dan dirangkap kemeja kotak-kotak berwarna merah dimana
ujung-ujungnya berkibar seiring dengan gerakannya. Di telinganya bertengger
headphone berwarna biru tua.
Hmm.. siapakah
dia? Apa yang tengah ia kerjakan?
Kusenderkan
kepalaku di bingkai jendela. Kuamati gerakan demi gerakannya. Ia sangat menarik
di setiap saat. Apa yang membuatnya sedemikian menarik?
Sosok sinar
matahari yang tengah berada tepat di atas langit memendarkan sosoknya secara
sempurna. Dari jauh ia terlihat sangat berkilauan bak intan permata. Mungkin
aku sedikit berlebihan menilainya, namun kurasa fatamorgana yang tengah
kusaksikan tidak sepenuhnya salah. Keringat di pelipis, wajah, leher, dan
lengan terbukanya lah yang membuat sinar mentari memendar di sekelilingnya, pikirku
mencoba logis.
Ia memang
nampak sedang bekerja keras. Berkali-kali ia keluar masuk rumah dengan
mengangkat beberapa barang dan kardus ke dalam rumah dari mobil pick up putih
yang diparkir di halaman rumahnya. Haruskah aku ke sana dan membantunya?
Mungkin saja ia akan menawariku teh nanti? Dan akupun bertaruh pada diriku
sendiri.
Maka, tak
berapa lama setelah merapikan sedikit rambutku aku pun mulai keluar dan
menghampirinya. Dengan sedikit gugup aku memperhatikan kekhusyukannya
mengangkat barang. Apalagi ketika langkahku sudah berhenti tepat di depannya. Aku
tak punya ide harus memulainya darimana. Namun ketika kemudian ia mulai
menyadari kehadiranku, tatapan heran lah yang menyambutku.
“Sedang apa?”
tanyaku kemudian. Goblok. Dari beberapa pertanyaan yang ingin kuajukan kenapa
justru itu yang terlontar dari mulutku? Apakah aku tidak bisa mengucap salam
dulu??
“Ya?” ia
melepaskan headset di telinganya. Dari kedua speaker kecil itu terdengar
sayup-sayup musik up-beat. Wah, ia mendengarkan sekeras itu. “Ada apa?”
tanyanya lagi memecah keheningan kami. Aku kaget. Kemudian kuulangi
pertanyaanku. Sama persis. Duh, bodohnya. Tuh kan, ia terlihat bingung memilih
jawaban.
“Kau tinggal
di depan?” ia balik bertanya. Dengan cepat aku mengangguk. Ia pun tersenyum.
“Maka aku adalah tetangga barumu,” katanya kemudian tanpa menunggu reaksiku
segera masuk ke dalam. Ahhh.
Aku tak
kehabisan akal. Kuambil beberapa kardus sekaligus dari dalam pick up dan
berjalan ke dalam rumah. Ketika ia berpapasan denganku kutangkap paras kaget
dari wajahnya yang rupawan.
“Sedang apa
kau?” tanyanya langsung. Aku berhenti melangkah. “Kau tetangga baruku, benar?”
tanyaku balik bertanya. Ia mengangguk pelan. Dan seketika aku tersenyum. “Maka
sebagai tetangga aku wajib membantumu,” kemudian aku kembali melangkah dengan
tegap.
“Tapi...”
ucapnya setengah berteriak. Aku berhenti dan menoleh ke belakang. Dengan
memasang wajah innocent aku
mengangkat alisku dengan penuh tanya.
“Kardusnya di
taruh di sini saja,”
....
Sedikit malu
aku menuruti perintahnya. Kuletakkan kardusnya sembari memutar otak, how to break the ice, huh?
PLOKK! Ia
menepuk bahuku. Aku pun sedikit terkejut, namun kurasa aku cukup berhasil
menyembunyikannya. “Jika kau begitu ingin membantuku, maka tolong angkat semua
barang yang masih tersisa di pick up dan taruh di ruang tengah saja ya,” ia
menyematkan senyum manisnya. Lagi-lagi ia membuatku terkejut. Gadis ini...
“Tidak
masalah. Secangkir teh manis saja cukup untukku,” jawabku kemudian. Reaksinya
sedikit lambat, untuk beberapa saat ia terdiam. Namun kedua jempolnya yang
terangkat membuatku melanjutkan kembali pekerjaan baruku. Mengangkat kardus.
Belakangan
kuketahui, gadis cantik itu bernama Amanda. Ia sama denganku, mahasiswa
semester 5. Meskipun kami satu universitas, tapi dia berada di fakultas ekonomi
dan mengambil jurusan akuntansi. Ia sengaja pindah ke rumah di depan karena
alasan lokasinya yang lebih strategis dengan kampus. Orangtuanya sendiri
tinggal di kota sebelah. Yang sedikit membuatku heran, kenapa ia memutuskan
pindah di tengah-tengah masa belajar? Tapi tak masalah. Karena aku akan semakin
betah di rumah. Seorang gadis telah mencuri hatiku.
Amanda
TING TONG!!
Suara bel
berbunyi saat aku sedang berbicara dengan mama di telfon. Aku melirik jam
dinding di hadapanku. Masih jam setengah 7 dan sudah ada yang bertamu?
“Sudah ya, Ma.
Manda ada tamu.” Sahutku mengakhiri pembicaraan di telfon ketika bel berbunyi
lagi. “Iya, Ma. Bye,” cepat-cepat kulempar hapeku di sofa dan setengah berlari
ke depan untuk membuka pintu rumah.
Aku menemukan
sosok lelaki yang kutemui kemarin dari balik pintu. Si tetangga depan rumah.
Kenapa ia datang pagi-pagi begini? Ia tersenyum manis. Terlihat lesung di pipi
sebelah kirinya. Rambutnya terlihat masih basah. Wangi parfumnya semerbak,
wangi yang enak karena tidak terlalu kuat seperti parfum pria kebanyakan.
Sepertinya ia baru selesai mandi.
“Sudah
sarapan? Mamaku membuatkan sup jagung ayam. Masih hangat, lho..” cowok ini
memberondongiku dengan suaranya yang berat. Kupandang mangkuk yang tengah
ditunjukkannya. Aku tertegun. Namun tiba-tiba ia sudah berjalan melewatiku dan
berjalan menuju dapur.
“Hari ini
kuliah jam berapa?” tanyanya sembari begitu saja meletakkan mangkuk di
tangannya ke meja makan. “Bentar lagi,” jawabku singkat, masih berdiri
menyandar pintu. Dia nampak sumringah.
“Kebetulan
sekali. Aku ada kuliah pagi, jam 7.30. Ayo bareng aja. Aku sudah siap kok,
tinggal memanaskan mesin,” katanya. Aku diam dan berpikir. Kenapa dia
seolah-olah sudah sangat akrab denganku. Apakah dia memang tipe orang seperti
itu?
“Akan kutunggu
sampai kau selesai sarapan,” jawabnya sembari menuju ke pintu. “Tidak usah,”
kataku ketika dia hampir melewatiku. Dia berhenti. Tepat di depanku. Baru
kusadari, bola matanya besar dan berwarna kecoklatan.
“Mamaku yang
menyuruh,” katanya kemudian dengan tatapan matanya yang tajam. Aku pun
menunduk. Merasa tidak nyaman dengan pandangannya.
“Kalau kamu
gak mau, gak masalah. Aku pergi dulu,” jawabnya singkat. Ia segera berbalik
pergi dan tak menoleh lagi.
“Lima menit!”
jawabku setengah berteriak. Ia menghentikan langkahnya dan menoleh padaku.
Tersenyum sembari mengangkat jempol tangannya. Tak bertanya lagi dan
melanjutkan langkahnya. Sial. He does
play well.
Galih.
Amanda adalah
gadis yang sangat menarik. Otaknya yang encer, bicaranya yang sepatah dan
seperlunya, tawanya yang lepas, senyumnya yang indah, langkahnya yang ceria,
wajahnya yang innocent, dan sifatnya yang seolah membatasi diri. Kesulitan
untuk mendekatkan diri padanya menjelma menjadi suatu tantangan bagiku. Suatu
hal yang tak pernah kudapatkan saat mendekati gadis lainnya. Ada yang berbeda
padanya. Yang membuat hari-hariku dipenuhi oleh sosoknya. Dan membuatku
terbayang akan rumah indah yang diselimuti cahaya mentari, dengan sosok anak
kecil berlarian kepadaku dan memanggilku ayah.
Maka, ketika
kulihat ia keluar dari pintu rumahnya dari jendela kamar, dengan bersemangat
dan setengah berlari aku menuju pintu. Kemudian dengan mencoba mengatur tempo
agar tidak terlihat agresif, aku berjalan pelan menuju pagar.
“Amanda!”
teriakku seketika begitu melihat wajahnya yang kurindukan setiap hari. Ia
menoleh, dan tersenyum. Gawat, hatiku meluruh seketika. Oh God! Aku sedang
jatuh cinta..
Ia pun
menolehkan muka kembali dan berbicara pada seseorang di sampingnya. Baru
kusadari, ia sedang ada tamu. Kuamati tamunya. Seorang pria. Berdasi, berkacamata,
rambut rapi, tegap, lebih kurang 180 cm. Ia berbicara dengan sesekali
tersenyum. Amanda tertawa dibuatnya, namun itu bukan tawa yang kutahu. Ia
menutup tawanya dengan tangan. Sangat sopan. Tidak seperti biasanya. Apakah
untuk menghormati tamu? Mungkin. Bagaimanapun ia manusia biasa.
Pria itu
kemudian melambaikan tangan. Amanda membalasnya. Si pria masuk ke mobilnya.
Amanda memandangnya, sampai mobilnya tak terlihat di ujung jalan. Ia terlihat
melamunkan sesuatu seperginya pria itu. Hanya semenit. Kemudian ia berbalik
pergi.
Ada yang aneh.
Penuh
penasaran, aku menghampiri Amanda.
“Siapa tadi?”
tanyaku sembari mensejajarkan langkah. Ia tersenyum.
“Kakak iparku,”
jawabnya sambil membuka pintu rumah. Aku mengangguk-angguk dan mengikutinya ke
dalam rumah. Aku mengambil apel di meja makan dan menaruh pantatku di kursi.
Kuperhatikan ia yang tengah mengambil air putih dari kulkas dan meneguknya
dengan kalap. Kuperhatikan ruang tamunya di seberang. Terlihat kado berpita
merah berada di atas meja.
“Kamu ulang
tahun?” tanyaku dengan penuh penasaran. “Enggak,” jawabnya sembari menaruh
pantatnya di meja makan. Aku menggigit apelku tanpa tahu harus bertanya
apalagi. Masih banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan, tapi entah mana yang
harus kukeluarkan terlebih dahulu. Penyakit.
“Kakakmu
cantik?” pertanyaan bodoh. Sh*t.
“Cantik,” ia
tersenyum. “Tapi sudah berlabel,” lanjutnya sembari mengambil apel di tanganku
dan kemudian menggigitnya. Sial. Ia menggodaku.
“Jadi
penasaran, kenapa ia gak kesini..” aku menghembuskan nafas seolah menyesali
keadaan. Namun kusesali tanggapanku tersebut saat Amanda tak kunjung merespon.
Ia terhenyak sesaat, mungkin aku telah melukai perasaannya? Salah langkah.
“Jadi, itu
kado untuk siapa?” tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku memandang kado
berpita merah di meja tamu tersebut dan mengira-kira barang apa yang
dibungkusnya.
“Untukku,”
Amanda turun dari duduknya dan berjalan ke ruang tamu. Ia mengambil kadonya dan
duduk di sofa. Tak sabaran ia menarik pita dan mencoba merobek bungkusnya. Aku
tak mau kehilangan moment dan
berjalan ke ruang tamu. Aku mengambil tempat di meja tamu dan menghadap Amanda.
Aku menunggu dengan penasaran. Kado untuknya? Bukan kado ulangtahun, berarti
kado apa? Dari siapa? Kakak atau orang tuanya? Dan apa kira-kira isinya?
“Buku..”
Amanda berdesis pelan memandang kado yang sudah berhasil dibukanya. Dibukanya
buku tersebut pelan. Itu bukan buku seperti kebanyakan. Itu sejenis agenda. Dan
itu bukan buku baru. Aku memandang Amanda. Gadis itu membuka pelan-pelan lembar
demi lembar buku itu. Dia tersenyum, tertawa, tertegun, dan meneteskan air
mata. Apa yang diceritakan buku itu hingga membuatnya berekspresi sedemikian
rupa?
Amanda semakin
tekun dengan buku di tangannya. Seolah ia lupa bahwa aku duduk tepat di
depannya. Menunggunya bercerita. Menunggunya dengan gelisah dan tak tahu harus
berbuat apa. Mati gaya.
“Haha, dasar
Bimo..” dalam tangisnya, ia tertawa. Siapa Bimo? Apakah ia si pemilik buku?
Apakah ia orang spesialnya? Apakah ia lebih ganteng?
“Pacarmu?”
tanyaku penasaran. Ia terhenyak. Begitu mengetahui aku berada di depannya, ia
segera menutup bukunya, menghapus air matanya, dan berdiri menjauh menuju ke
kamarnya. Sial.
Aku berdiri,
mengikutinya ke kamar. “Kenapa lari?” aku berusaha tak berteriak.
Menyembunyikan emosiku. Kenapa ia tidak menganggap keberadaanku. Sial.
Aku berdiri di
depan pintu kamarnya yang separoh tertutup. Aku tahu ia di dalam. Aku tahu ia
mungkin ingin sendiri. Tapi aku masih penasaran dengan semuanya. Aku
benar-benar tidak mau meninggalkan moment ini begitu saja.
“Kau pernah
bilang bahwa kau tidak punya pacar kan.. Berarti mantanmu ya?” aku
mondar-mandir di depan kamarnya. “Dimana dia sekarang? Itu buku diarinya?
Kenapa ia tidak bicara langsung saja?” aku terhenyak. Apakah pertanyaanku tidak
terlalu kasar? Sial.
“Dia ganteng
ya? Aku jadi penasaran kayak apa sih orangnya.. Dia baik nggak? Tapi kalau
baik, kenapa kalian harus berpisah? Hmm..” aku bergumam. Memutar otak. “Dia
tipe yang seperti apa? Lucu? Dingin? Romantis? Hei man.. Dia gak lebih ganteng
dari aku kan?”
“Apa pedulimu?”
kali ini Amanda membuka pintu dan muncul dengan mata sembab. Aku berhenti dan
menatapnya dalam-dalam. “Penasaran,” jawabku sembari mencoba tersenyum. Ia
tersenyum.
“Apakah kamu
gak terlalu ikut campur?” katanya sembari menutup pintu. “Aku ingin sendiri,”
katanya setengah berteriak.
Amanda
“Aku hanya
ingin kamu membagi lukamu..” ucapan Galih membuatku terhenyak. Perlahan aku
membuka pintu kembali. Kudapati matanya yang sayu. “Kenapa?” tanyaku kemudian.
“Aku...” cowok
itu mencoba mencari-cari kata-kata yang pantas. Lagi-lagi kikuk. “Aku ingin
kamu percaya padaku. Aku ingin kamu membuka dirimu padaku..” jawabnya kemudian.
“Iya, tapi
kenapa bodoh?!” jawabku tak tahan dengan semua ini. Ia melotot. Tangannya
mendekap kepalaku. Ia mendekatkan wajahnya padaku, dan menatap mataku
lekat-lekat.
“Masih belum
mengerti?? Aku mencintaimu, bodoh!” jawabnya kemudian.
Aku terhenyak.
Jadi, sifat anehnya selama ini...
“Aku
penasaran. Aku ingin tahu segalanya tentang kamu. Aku ingin membuka hatimu
padaku. Aku ingin kamu melupakan Bimo atau siapa lah. Aku ingin kamu
memandangku..” katanya lagi. Aku berusaha menepis tangannya dan terduduk
setelah berhasil melepaskannya dari kepalaku.
“Aku..masih
menyukai Bimo, meskipun..” kataku pelan. Air perlahan menetes dari mataku. Aku
tak sanggup melanjutkannya.
“Meskipun aku
akan menerimamu apa adanya?” ia berusaha melanjutkannya. Aku tertawa mendengar
penuturannya. “Meskipun ia sudah menjadi suami kakakku, bodoh!”
Galih.
Kali ini aku
terhenyak. Sangat lama.
Jadi,
laki-laki tadi adalah Bimo? Dan dia adalah orang yang disukai gadis ini? Itu
cukup menjawab pertanyaanku tadi. Kenapa ia bersikap sangat sopan terhadap
iparnya tadi. Karena ia Bimo. Karena ia orang yang disukai Amanda. Karena ia
ingin terlihat cantik dan sopan di depannya. Sial.
Dan kenapa
laki-laki itu tidak datang bersama istrinya ke sini. Karena ia Bimo. Karena ia
orang yang disukai Amanda. Karena ada sesuatu yang terjadi di antara mereka.
Yang mungkin disembunyikannya dari kakaknya..
“Apakah
kakakmu tahu?” tanyaku kemudian. Ia menggeleng pelan. Aku melihat bahunya naik
turun. Ia terisak. Pelan aku ikut duduk di depannya. Kudekap ia dengan erat.
Bagilah denganku man..
“Apakah kalian
baru saja putus tadi?” tanyaku kemudian. Ia menggeleng. Aku mendekapnya semakin
erat. Aku tak peduli. Meskipun ia menyukai orang lain, meskipun orang itu
adalah suami kakaknya sendiri, aku tak peduli. Aku menyukai gadis ini. Aku tak
ingin ia terluka. Aku ingin melakukan apa saja yang membuatnya nyaman, meskipun
itu melukaiku.
“Sebelum
menikah..” ucapnya lirih. “Ya?” aku menatapnya. Kuusap air matanya dengan
lembut. Kurapikan poni yang menutup matanya.
“Aku putus
dengannya sebelum ia menikah dengan Kak Alex..”
Aku terkejut.
“Kakakmu seorang pria?”
Ia tertawa dan
memukul dadaku pelan. Hmm.. setidaknya ia tersenyum.
“Ia memilih
bersama kakak, meskipun ia tidak mencintainya..” kali ini air matanya menetes
dengan lancar. Ia nampak sulit bercerita di antara isakannya. Amanda, aku
melihat sisimu yang lain..
“Ia.. tidak
mau menyakiti kakak yang rapuh.. Ia bilang, aku bisa berdiri sendiri. Tapi
kakak tidak bisa hidup tanpanya.. Ia berjanji, tak akan melupakan perasaannya
terhadapku. Ia masih mencintaiku..” terbata-bata Amanda bercerita. Aku marah.
“Laki-laki apa
itu!” kupeluk ia erat. Mengelus punggungnya yang bergetar hebat. “Lupakan
dia..” kataku kemudian.
“Sama..”
ucapnya diantara isaknya. Aku memperhatikan wajahnya. Kutatap bola matanya yang
diselimuti air bening. “Apa yang kamu ucapkan sama dengan yang dia ucapkan..”
aku tersenyum getir. Itu bukan pujian, itu pukulan.
“Dia memintaku
melupakannya, karena dia akan menjadi ayah. Kakakku hamil..”
“Itu yang
dikatakkannya tadi?” tanyaku lembut. Ia menggeleng. “Itu tertulis di halaman
terakhir bukunya.. Ia tak sanggup mengucapkannya secara langsung..”
Aku tertawa
sinis. “Kamu mencintai laki-laki payah..” Gadis itu mengangguk. Ia tertawa dan
mengusap air matanya dengan kasar.
“Di bukunya
tertulis, bagaimana perasaan kesalnya terhadapku sewaktu pertama bertemu.
Kemudian bagaimana perasaan itu berubah menjadi sayang. Dan bagaimana ia
bertemu Kak Alex yang mencintainya dengan tulus. Dan bagaimana ia tak sanggup
meninggalkan Kak Alex pun tak sanggup berhenti mencintaiku. Dan bagaimana ia
harus melakukannya meski telah membina rumah tangga dengan Kak Alex sampai ia
tahu bahwa kakak sedang mengandung benihnya. Dan bagaimana rasa tanggung jawab
itu berubah menjadi cinta.. Ia mencintai kakak.. Ia sudah mencintai kakak”
Amanda tertunduk. Kutatap air matanya yang menetes ke lantai membentuk genangan
kecil.
“Dia lebih
payah dari yang kukira..” ucapku mendengar penuturannya. Kuharap ia tidak
menyesali kakak iparnya mendengar pendapatku sebagai kaum adam.
“Aku tak tahu harus
marah atau kecewa. Aku ingin marah karena ia memilih kakak namun tetap
mencintaiku. Ia mengkhianati kakakku. Tapi aku juga kecewa karena akhirnya ia
mencintai kakak setelah sikapnya yang seolah memberiku harapan. Aku..”
“He’s not propered being loved by you!!”
aku berteriak tak tahan. Amanda menatapku. Ia terlihat sangat kacau.
“Dia telah
memilih jalannya, namun masih berani berkata bahwa ia mencintaimu? Bukankah itu
sangat tidak pantas? Kalau ia mencintaimu, maka ia semestinya ingin membuatmu
bahagia. Setidaknya ia berdoa agar kamu mendapatkan orang yang lebih baik
darinya karena hanya itulah yang bisa ia lakukan. Tidakkah kamu berpikir bahwa
ia sangat egois?”
Amanda
tertegun. Tak berapa lama ia mengangguk.
“Akan kubantu
kau melupakannya..” kataku sambil tersenyum. Ia memandangku heran. Aku tahu
pertanyaan yang ada di hatinya.
Amanda.
“Akan kubantu
kau melupakannya..” Galih tersenyum. Aku heran. Bagaimana caranya? Dan belum
sempat aku berucap, ia telah merenggut daguku dan mencium bibirku.
Aku tertegun.
Aku bahkan tak berpikir untuk menolaknya. Ada apa ini? Apakah aku sangat
murahan?
“Someday, I’ll make you say... ‘I do’..”
lagi-lagi ia tersenyum. Aku tak kuasa menatapnya. Bukankah ia seharusnya
meminta maaf? Bukankah aku seharusnya marah?
“Kenapa?”
“Karena cinta
tak butuh alasan. Kalau kau tua dan gendut apakah aku tidak lagi mencintaimu?
Tidak benar. Kalau senyummu tidak lagi indah apakah aku tak mencintaimu? Tidak
benar. Aku mencintaimu, dan suatu hari kau akan mencintaku..” lanjutnya
tersenyum. Indah.
“Kau terlalu
percaya diri..” aku tersenyum menjawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar