Rabu, 25 Maret 2009

ASDLku sayang ASDLku malank chapter 2

Yep.
Bhasil mengerjakan ASDL dan mengirimnya dengan sukses.
semoga begadangQu mpe jam setengah 6 pagi tadi gag pcuma..
k.
akan kulampirkan wacana asdl qu karena qu pikir ini cukup bguna.
here we go.



nb. Aqu persembahkan untuk teman-teman yang pernah, sedang, atau akan tinggal di indekostan.



LINGKUNGAN INDEKOST, BERSIH DAN SEHAT ‘KAH ?

oleh:
Lisa Pratiwi R.M

Setiap manusia di manapun berada membutuhkan tempat untuk tinggal yang disebut rumah. Rumah berfungsi sebagai tempat untuk melepaskan lelah, tempat bergaul dan membina rasa kekeluargaan di antara anggota keluarga, tempat berlindung dan menyimpan barang berharga, dan rumah juga merupakan status lambang sosial (Azwar, 1996; Mukono, 2000). Rumah adalah struktur fisik terdiri dari ruangan, halaman dan area sekitarnya yang dipakai sebagai tempa t tinggal dan sarana pembinaan keluarga (UU RI No. 4 Tahun 1992). Sedangkan perumahan adalah sekelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian yang dilengkapi dengan prasarana lingkungan yaitu kelengkapan dasar fisik lingkungan (misalnya penyediaan air minum, pembuangan sampah, listrik, telepon, dan jalan yang memungkinkan lingkungan permukiman berfungsi sebagaimana mestinya) dan sarana lingkungan (yaitu fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan serta pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya, seperti fasilitas taman bermain, olahraga, pendidikan, pertokoan, sarana perhubungan, keamanan, serta fasilitas umum lainnya).
Seiring perkembangan jaman, perencanaan sebuah perkotaan semakin dapat diprediksikan. Perumahan akan terlihat memusat di sentral-sentral tertentu. Contoh kuat adalah areal pendidikan seperti universitas. Sektor perumahan yang menjamur di sekitar universitas adalah indekostan. Ada beberapa kawasan indekost yang begitu elite seperti perumahan penduduk kelas menengah ke atas, namun lebih sering yang berbentuk perkampungan kumuh dengan aktivitas yang begitu tinggi. Dalam hal ini akan dibahas tipe perumahan indekost yang kedua karena bersifat lebih komprehensif dan bermasalah.
Perumahan indekost, sebagai basis tempat tinggal penduduk-penduduk rantauan, seringkali diabaikan permasalahannya. Baik oleh pemerintah maupun oleh mereka yang menempatinya. Padahal jika ditilik lebih dalam, permasalahan yang ada tidak lebih ringan dibandingkan perumahan biasa.
Lingkungan indekost merupakan daerah padat penghuni dengan sebagian besar penduduknya adalah pendatang / bukan penduduk asli / rantauan. Masyarakat memilih tinggal di lingkungan indekost dengan berbagai tujuan, entah itu bekerja ataupun belajar. Feeling atau rasa bahwa mereka tinggal bukan di rumah sendiri terkadang menjadi alasan mengapa tanggung jawab masyarakat setempat terhadap lingkungan tempat tinggalnya terbilang rendah.
Bersih atau tidaknya suatu lingkungan dapat dilihat dari sistem drainase sedangkan tingkat kesehatan dalam suatu lingkungan dapat diidentifikasi lewat sanitasinya.
Sistem drainase merupakan sistem irigasi atau pengairan yang mengalirkan air ke tempat yang lebih rendah (http://www.yahoo.com/drainage system [16 Maret 2008]). Drainase yaitu suatu cara pembuangan kelebihan air yang tidak diinginkan pada suatu daerah, serta cara-cara penangggulangan akibat yang ditimbulkan oleh kelebihan air tersebut (Suhardjono 1948:1). Drainase di sini berfungsi mengalirkan air permukaan ke badan air (sumber air permukaan maupun bawah permukaan tanah) dan bangunan resapan guna mengendalikan kebutuhan air. Drainase diharapkan dapat memperbaiki daerah becek agar tidak mengganggu pemandangan ataupun menimbulkan bibit-bibit penyakit, serta mampu menghindarkan daerah bersangkutan terhadap masalah banjir. Fungsi pokok dari drainase selain mengeringkan daerah becek atau genangan air agar tidak ada akumulasi air serta mengendalikan air hujan yang berlebihan sehingga tidak terjadi bencana banjir adalah menurunkan permukaan air tanah pada tingkat yang ideal dan berfungsi mengendalikan erosi tanah, kerusakan jalan serta bangunan yang ada. Sistem drainase ini memberikan keamanan dan kenyamanan bagi para penghuni rumah serta memberikan perlindungan terhadap bangunan, prasarana lingkungan dan daerah terbangun lainnya. Jika perencanaan drainase berjalan dengan baik, maka tidak akan ada masalah lingkungan yang dapat mengganggu kenyamanan hidup masyarakat bersangkutan.
Sayangnya, kondisi sistem drainase yang ada di perumahan indekost pada umumnya tidak berjalan dengan baik. Kendala yang ada karena adanya penutupan tanah yang berlebihan (kepadatan bangunan begitu tinggi) yang memperkecil lahan kosong sebagai daerah resap air. Akibatnya konsentrasi air hujan yang masuk ke dalam tanah berkurang drastis sehingga dapat menimbulkan genangan air atau bahkan banjir ketika hujan deras datang.
Faktor lain yang memperburuk kondisi drainase di daerah indekost adalah penembokan tepian sungai untuk berbagai kepentingan serta pembuangan sampah rumah tangga ke sungai yang mengubah kualitas air sungai sehingga sungai tidak mampu menjalankan perannya sebagai sistem drainase alamiah untuk pengentasan genangan air maupun banjir.
Hal ini diperparah dengan rusak atau tidak berfungsinya bangunan-bangunan drainase buatan karena pintu kontrol drainase ditutup dengan semen sebagai akses jalan atau jembatan. Limbah makanan yang dibuang di saluran drainase itu pun akan mengendap yang menyebabkan saluran drainase menjadi dangkal sehingga semakin sulit dikontrol.
Faktor penyebab lain yang tidak kalah pentingnya adalah memusatnya pola perumahan di daerah indekost. Sentralisasi ini menjadikan daerah tersebut dipenuhi sudut-sudut sempit dan lembab. Terkadang ’titik kecil itu’ dimanfaatkan untuk jalan, namun terkadang dibiarkan kosong atau malah digunakan sebagai tempat pembuangan sampah atau barang-barang tertentu. Akibatnya, lingkungan menjadi kumuh dan kotor.
Menteri Negara Perumahan Rakyat, Mohammad Yusuf Asy’ari, mengatakan bahwa jumlah daerah kumuh perkotaan Indonesia naik dengan cepat, dari 47.500 hektar di tahun 2004 menjadi 54.000 hektar di tahun 2006. Kondisi memprihatinkan ini terjadi berbarengan dengan tumbuhnya jumlah penduduk perkotaan secara signifikan, dari 32,8 juta jiwa atau 22,3 persen dari seluruh jumlah penduduk di tahun 1980, menjadi 55,4 juta jiwa atau 30,9 persen dari seluruh jumlah penduduk di tahun 1990. Mengutip data Population Research Center, Yusuf menggambarkan bahwa jumlah penduduk perkotaan atau urban dwellers akan mencapai jumlah 74 juta jiwa atau 37 persen dari total penduduk di tahun 2015. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dengan meningkatnya jumlah penduduk urban (yang juga dapat dilihat dari makin padatnya kawasan indekost terutama di daerah perkotaan) maka daerah kumuh di Indonesia juga makin meningkat. Hal ini tentu sudah cukup menggambarkan bahwa lingkungan indekost pada umumnya kurang terjaga kebersihannya (kumuh).
Kebanyakan lingkungan indekost juga memiliki tingkat kesehatan yang minim. Hal yang dapat mengidentifikasi kesehatan lingkungan indekost adalah masalah sanitasi. Hygiene atau sanitasi lingkungan adalah pengawasan lingkungan fisik, biologis, sosial atau ekonomi yaitu mempengaruhi kesehatan manusia di mana lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak sedangkan yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan (Erlina, 2008). Sedangkan sanitasi rumah adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada pengawasan terhadap struktur fisik di mana orang menggunakannya sebagai tempat berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Sarana sanitasi tersebut antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan kotoran manusia, dan penyediaan air (Azwar, 1990).
Pelayanan sanitasi di kota-kota besar di Indonesia tergolong masih rendah. Pelayanan dengan sistem terpusat atau off-site baru mencapai total 2,33 persen penduduk di kota besar, sedangkan perumahan menengah ke atas membuat sistem sanitasi tersendiri, yang memperburuk kualitas air tanah. Kerugian yang ditimbulkan akibat sanitasi buruk diperhitungkan mencapai Rp 56 triliun per tahun. Kerugian ekonomi ini antara lain dipicu 90 juta kasus diare per tahun, dan 23.000 kematian per tahun akibat diare (Kompas, 18 Desember 2008).
Umumnya sanitasi di areal perumahan indekost tergolong buruk. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sistem sanitasi dipengaruhi oleh ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan kotoran manusia, dan penyedian air (terutama dalam hal ini adalah air bersih).
Menurut surat keputusan Menteri Pekerjaan Umum tahun 1980 mengenai Pedoman Teknik Pembangunan Rumah Sederhana Tidak Bersusun, kepadatan lingkungan yang baik di areal perumahan adalah rata-rata 50 unit rumah per ha, namun jumlah unit rumah di lingkungan indekost pada umumnya lebih dari itu.
Padatnya rumah-rumah di kebanyakan perumahan indekost menjadikan kurangnya ventilasi udara. Pengertian ventilasi sendiri adalah proses penyediaan udara segar ke dalam dan pengeluaran udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun mekanis (Krieger dan Higgins, 2002). Pada intinya ventilasi adalah proses pindah alir udara atau distribusi udara. Dengan adanya ventilasi yang baik maka udara segar dapat dengan mudah masuk ke dalam rumah. Sedangkan ventilasi yang kurang baik atau buruk dapat membahayakan kesehatan khususnya saluran pernafasan. Contoh gangguan pernafasan akibat buruknya ventilasi adalah infeksi saluran pernafasan akut yang sering melanda daerah-daerah berkepadatan penduduk tinggi. Dan rata-rata ventilasi udara di daerah perumahan indekost di mana kepadatan penduduk begitu tinggi tergolong buruk.
Suhu dan kelembaban sangat berkaitan erat dengan ventilasi. Apabila ventilasi buruk maka perpindahan udara kotor dari dalam menjadi udara bersih dari luar tidak dapat berjalan lancar. Suhu pun menjadi rendah sehingga kelembaban udara tinggi. Sebuah rumah yang memiliki kelembaban udara tinggi memungkinkan adanya tikus, kecoa, dan jamur yang semuanya memiliki peran besar dalam patogenesis penyakit pernafasan. Itulah mengapa kesehatan dalam sebuah kompleks perumahan indekost kurang terjamin.
Tingkat kepadatan yang begitu tinggi di lingkup indekost juga mempengaruhi sistem penerangan alaminya. Cahaya matahari sebagai sumber penerangan alami tidak dapat diterima secara merata oleh seluruh areal perumahan karena tertutup oleh atap-atap rumah yang berdekatan. Dan hal ini juga merupakan faktor penyebab mengapa kelembaban di kawasan perumahan indekost begitu tinggi sehingga dapat mengganggu kesehatan penduduknya.
Konstruksi bangunan di daerah indekost yang padat penghuni rata-rata bersifat permanen, namun hal penting yang harus terus diawasi adalah minimnya areal resapan air. Kepadatan penduduk yang amat tinggi serta kebutuhan pasar terhadap perumahan di sekitar areal-areal penting (misal universitas) menyebabkan sejumlah besar rumah di daerah indekost tidak memiliki halaman atau kebun untuk daerah resap air, dan karena perkembangan jaman yang semakin modern banyak hunian yang halaman rumah disemen dan atau bukan tanah karena faktor keindahan dan kepraktisan. Hal tersebut terjadi pada hampir setiap rumah. Padahal menurut surat keputusan Menteri Pekerjaan Umum pada tahun 1980 tentang Pedoman Teknik Pembangunan Rumah Sederhana Tidak Bersusun maksimum luas persil perencanaan yang tertutup bangunan adalah 40% dari luas seluruh lingkungan perumahan. Dengan sedikitnya ruang terbuka hijau (RTH) yang ada banyak hal yang akan menjadi permasalah lingkungan yang tidak boleh disepelekan. Hal ini tentu harus diwaspadai terutama untuk mencegah adanya genangan-genangan air yang sangat mungkin bisa menyebabkan kuman-kuman penyakit atau malah banjir karena air hujan tidak dapat meresap ke dalam tanah. Faktor kesehatan kembali harus dipertaruhkan karenanya.
Sampah merupakan hal yang tidak mungkin dapat terpisahkan dari masalah permukiman dan perumahan. Sampah adalah semua buangan padat yang dihasilkan dari seluruh kegiatan manusia dan hewan yang tidak berguna atau tidak diinginkan (Tchobanoglous, Theiseen dan Eliassen, 1993). Di lingkungan indekost yang notabene kepadatan penduduk tidak sebanding dengan luas area, masalah sampah cukup memusingkan meskipun ada petugas tersendiri yang berwenang mengurusi sampah. Rasa bahwa hanya ‘menumpang’ dan bukan kampung sendiri terkadang membuat penduduk di lingkungan indekost merasa tidak wajib membuang sampah secara benar. Padahal, sampah, baik yang bersifat organik ataupun anorganik akan menjadi sarang penyakit dan apabila sampah dibuang sembarangan cenderung akan masuk ke jalur selokan-selokan dan menyumbatnya. Kondisi ini sangat rawan banjir apabila di musim hujan. Sampah organik yang tergeletak di pinggir jalan saja bisa menimbulkan bau yang bisa mencemari udara dan membawa kotoran debu berpenyakit, apalagi sampah yang terkena air. Sampah yang terkena air dan membusuk juga akan mencemari air sekelilingnya baik bau, warna, penyakit, dan mikroorganisme patogen, penyebarannya pun jauh lebih cepat. Bila hal ini terjadi di permukiman padat penduduk seperti kawasan indekost yang mungkin juga daerah pemukiman kumuh, maka masyarakat di sekitarnya pasti akan menderita sakit.
Sarana pembuangan kotoran manusia juga tidak kalah penting untuk diperhatikan dalam suatu lingkup pemukiman, terutama di lingkungan indekost. Menurut data yang ada, sarana jamban rumah tangga mencapai 75% terutama di perkotaan. Adapun rumah tangga yang tidak mempunyai akses terhadap jamban ada 11,5% di perkotaan dan 35,89% di daerah pedesaan (http://www.ar.itb.ac.id/wdb/). Itu artinya pelayanan terhadap sistem pembuangan dan pengolahan belum mampu melayani seluruh masyarakat. Adapun yang perlu dicermati dalam lingkup indekost adalah masalah kebersihan untuk jamban itu sendiri karena otomatis akan sangat berkaitan dengan masalah kesehatan. Jamban yang ada harus layak pakai dan bersih serta tidak bocor, pembuatan jamban tidak boleh asal jadi. Hal tersebut merupakan syarat mutlak untuk hidup di lingkungan bertetangga dengan jarak yang amat dekat. Untuk sistem pembuangannya sendiri, pembuangan lumpur tinja tidak boleh langsung masuk saluran drainase, septic tank juga tidak boleh dibangun dalam jarak dekat terhadap sumber air bawah tanah untuk menghindari pencemaran air. Sayangnya, di areal sepadat lingkungan indekost pengaturan itu semua cukup lambat karena faktor padatnya bangunan dan buruknya sanitasi lainnya.
Penyediaan air merupakan faktor sanitasi yang teramat penting. Kebutuhan akan air bersih sekarang ini menjadi issue dunia yang bersifat global dan mendesak. Walaupun air meliputi 70% permukaan bumi dengan jumlah kira-kira 1,4 ribu juta kilometer kubik, namun hanya sebagian kecil saja dari jumlah ini yang dapat benar-benar dimanfaatkan, yaitu kira-kira hanya 0,003%. Sebagian besar air, kira-kira 97%, ada dalam samudera atau laut, dan kadar garamnya terlalu tinggi untuk kebanyakan keperluan. Dari 3% sisanya yang ada, hampir semuanya, kira-kira 87 persennya,tersimpan dalam lapisan kutub atau sangat dalam di bawah tanah (http://wikipedia_indonesia.com). Bahkan menurut para ahli konservasi dunia, diperkirakan dua dari tiga penuduk dunia akan kesulitan akses air bersih pada 2025 nanti.
Indonesia, meskipun menurut LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) memiliki 6% dari persediaan air di dunia atau sekitar 21% persediaan air di Asia Pasifik, kelangkaan dan kesulitan mendapatkan air bersih dan layak pakai mulai menjadi masalah di berbagai tempat. Mengutip data Bank Dunia pada tahun 2006, dari 230 juta penduduk Indonesia, terdapat 108 juta penduduk atau sekitar 47% saja yang memiliki akses terhadap air bersih yang aman untuk dikonsumsi.
WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) menyatakan, hal ini terjadi karena ketersediaan air bersih cenderung berkurang akibat kerusakan alam dan pencemaran, yaitu diperkirakan sebesar 15-35% per kapita per tahun. Dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 200 juta, kebutuhan air bersih menjadi semakin mendesak.
Kapasitas produksi air bersih di daerah perkotaan di tanah air hingga saat ini rata-rata baru mencapai 105 meter kubik per detik atau 40 persen dari kapasitas produksi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan air bersih, yakni 250 meter kubik per detik. Di beberapa pedesaan bahkan masih ada yang kapasitas produksinya 9 persen (kapanlagi.com). Data mengejutkan lain berasal dari Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Pada tahun 2000 baru 19 persen dari 39 persen penduduk perkotaan yang dapat menikmati air bersih dengan sistem perpipaan. Sedangkan di daerah pedesaan, 5 persen penduduk desa menggunakan sistem perpipaan, 48 persen menggunakan sistem non perpipaan, dan 47 persen sisanya menggunakan air yang bersumber dari sumur gali dan sumber air yang tidak terlindungi.
Dari data-data tersebut di atas jelas bahwa kebutuhan air bersih di dunia saat ini adalah kebutuhan primer yang cepat atau lambat disadari bersifat mendesak. Kawasan indekost sebagai basis perumahan berkepadatan penduduk tinggi tentu berpotensi mengurangi kualitas dari air. Kesadaran penduduk yang minim untuk tidak membuang limbah ke sungai misalnya. Limbah-limbah itu akan berinteraksi dengan organism-organisme pathogen dan menjadikan air sungai tercemar. Dan tak dapat dipungkiri bahwa sungai tercemar adalah pemandangan yang telah wajar di pemukiman manapun (tidak hanya kawasan indekost). Jika hal ini dibiarkan maka prediksi para ahli mengenai krisis air bersih di masa mendatang semakin nampak nyata.
Dilihat dari masalah-masalah sanitasi di atas jelas bahwa perumahan di areal indekost masih tergolong tidak sehat. Penyebab utama yang menjadikan lingkungan kurang sehat ini adalah kepadatan penduduk yang begitu tinggi di perumahan indekost. Hal ini bisa dilihat dari garis sempadan yang ada. Garis sempadan adalah garis batas untuk mendirikan bangunan dari jalan, sungai/saluran irigasi, rawa/situ, jalan kereta api, jaringan tenaga listrik, pipa minyak, pipa gas dan cerobong pembakaran gas atau flare stack (Undang-undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan). Pada umumnya, garis sempadan jalan maupun sempadan bangunan di lingkup indekost sempit, bahkan bisa mencapai 0 (nol) meter (artinya pagar rumah / pintu rumah langsung berhadapan dengan jalan atau tembok rumah yang satu adalah tembok rumah di sebelahnya). Tentu saja hal ini sangat berpengaruh besar terhadap lingkungan. Pola keruangan yang memusat dan garis sempadan yang begitu kecil di perumahan indekost menjadikan lingkungan indekost begitu padat. Tak ayal, pencahayaan menjadi sangat kurang. Begitu pula dengan penghawaan. Penghawaan yang kurang atau tidak lancar akan menjadikan ruangan terasa pengap dan sumpek dan akan menimbulkan kelembaban tinggi dalam ruangan. Hal ini akan sangat mempengaruhi kesehatan masyarakat setempat.








Apabila ditilik lebih jelas, lingkungan indekost memang menimbulkan banyak masalah terutama masalah lingkungan. Mulai dari masalah banjir, hingga masalah kesulitan air bersih. Semua masalah ini dapat terjadi karena pembangunan sebuah kawasan terbangun seperti kawasan indekost kurang memperhatikan aspek lingkungan.
Sebut saja sistem drainase. Apabila hujan turun maka jalan-jalan di areal indekost banyak dihiasi oleh genangan air di sana-sini. Hal ini membuktikan bahwa sistem drainase di kawasan indekost kurang tertata apik dan efektif. Kebersihan lingkungan di daerah indekost pun tidak dapat terjaga dengan baik.
Kondisi akan menjadi lebih parah jika hujan turun sangat deras. Air akan meluap dan banjir kerap melanda rumah-rumah penduduk. Air tidak dapat meresap ke tanah karena kurangnya ruang terbuka hijau. Hampir tidak dijumpai ruang terbuka hijau di areal indekost. Kalaupun ada, ruang itu telah terpasak tulisan ”DIJUAL”. Jika tidak ada ruang terbuka hijau, maka tidak ada daerah resap air yang bisa menampung air hujan dan mencegah banjir. Tidak ada pula tempat di mana tumbuhan bisa berfotosintesis untuk mengubah karbon dioksida menjadi oksigen yang bisa dihirup manusia. Artinya, lingkungan menjadi kurang bersih dan sehat.
Sanitasi di lingkungan indekost juga dapat disebut buruk. Buruknya sanitasi dapat dilihat dari minimnya ventilasi di setiap unit rumah, kelembaban yang tinggi lantaran sistem penghawaan yang buruk, padatnya hunian-hunian di kawasan indekost yang menyebabkan minimnya penerangan alami, buruknya sistem pembuangan sampah, kurang terjaganya sarana pembuangan kotoran manusia, serta minimnya penyedian air bersih. Keseluruhan faktor-faktor tersebut menyebabkan masalah lingkungan yang begitu kompleks serta dapat mengganggu kesehatan masyarakat setempat.
Maka jelaslah dari penjabaran-penjabaran di atas bahwa lingkungan perumahan indekost pada umumnya kurang terjaga kebersihan dan kesehatannya.
Developer sebagai perencana pembangunan sebuah kawasan perumahan terutama kawasan perumahan indekost, ada baiknya lebih memperhatikan aspek lingkungan. Apabila mengabaikan faktor lingkungan akan sama artinya dengan menyumbang prosentase kerusakan lingkungan. Pemerintah sebagai pengawas ada baiknya memberikan rule yang tegas mengenai pembangunan suatu kawasan agar dapat mengontrol kinerja para developer untuk tetap memerhatikan lingkungan dalam merencanakan pembangunan. Sedangkan untuk masyarakat di kawasan indekost sendiri seharusnya bersikap lebih bijak dalam menjaga lingkungan tempat tinggalnya karena meski bukan rumah sendiri tapi merupakan tempat di mana mereka tinggal untuk beberapa waktu lamanya.




semoga bmanfaat^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar