Senin, 22 Agustus 2011

Dampak Desentralisasi di Indonesia Studi Kasus Otonomi Daerah di Provinsi Jawa Barat

a little note:
ini adalah makalah saya untuk suatu tugas mata kuliah. apabila menginginkan copas, sebaiknya hanya berupa data (beserta sumber yg sudah saya cantumkan). selain itu merupakan pendapat dan pemikiran pribadi yg tidak absah apabila ikut ter-copas. semoga membantu =)


Pada rezim orde baru, kebijakan pemerintah daerah harus menunggu keputusan dari pemerintah pusat. Padahal, pemerintah pusat tidak lebih memahami permasalahan setiap daerah karena karakteristik masing-masing daerah berbeda. Akibatnya, sumber daya alam yang melimpah tidak dapat dimanfaatkan dan dinikmati sebagaimana mestinya oleh masyarakat di daerah. Justru pemasukan lebih mengarah ke pemerintah pusat sebagai pemegang kontrol pembangunan di daerah.
Misalnya di daerah Riau. Pada tahun 1997 dan 1998 daerah tersebut menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp. 59,14 triliun. Namun, hanya 1,71 persen atau Rp. 1,01 triliun saja yang diterima oleh daerah tersebut sementara sisanya masuk ke pemerintah pusat (www.ryasrasyid.wordpress.com diakses 16 April 2011).
Keadaan tersebut jelas tidak menguntungkan daerah. Selain merasa didiskriminasi, daerah tidak dapat bergerak bebas atas wilayahnya sendiri dan harus disetir pemerintah pusat. Kekecewaan terhadap pemerintah pusat ini kemudian direalisasikan dengan keinginan untuk memisahkan diri dengan Indonesia, contohnya adalah Timor Timur. Hal ini jelas merupakan sesuatu yang tidak diinginkan siapapun. Bukan karena berkurangnya aset daerah yang mampu mendukung ekonomi nasional, namun lebih dikarenakan hilangnya suatu bagian NKRI yang sedari awal berjuang bersama merebut kemerdekaan. Selain itu, secara tidak langsung keadaan tersebut menunjukkan bahwa dikotomi kekuasaan tidak sesuai dengan pembangunan yang dicita-citakan. Oleh karena itu, diperlukan suatu cara untuk merubah sistem yang ada. Cara itu adalah otonomi daerah, yang mengubah sistem sentralistik menjadi desentralistik.
Menurut Ryaas Rasyid, pemrakarsa otonomi daerah sekaligus mantan Menteri Otonomi Daerah, daerah harus mampu mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki dengan kemampuan sendiri dan menanganinya sekreatif mungkin. Hal itu diwujudkan dengan pergantian kebijakan dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 yang menghasilkan mekanisme pemerintahan yang sentralistik, menjadi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang kemudian direvisi menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004. Dengan adanya kebijakan tersebut, diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan daerah dengan pembangunan yang fokus dan terarah.
Namun pada kenyataannya, sejak diterapkan pada 1 Januari 2001, praktek desentralisasi tidak berjalan sesuai harapan. Permasalahan baru bermunculan, sementara tujuan mulia desentralisasi seolah sulit diwujudkan. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain timbulnya korupsi di kalangan pejabat pemerintah, timbulnya pemekaran wilayah dan ketimpangan antar wilayah sampai pada sengketa yang terjadi akibat dari pemekaran wilayah.

Seperti suatu kebijakan pada umumnya, praktek desentralisasi ini memiliki sisi positif dan sisi negatif. Hal baik yang dapat diambil dari keberadaan desentralisasi ini adalah semakin meningkatnya kemampuan pemerintah daerah dalam mengatur wilayahnya sendiri tanpa harus didekte oleh pusat. Kemungkinan kesalahan perencanaan pembangunan dapat dikurangi karena pemerintah daerah lebih mengetahui dan memahami karakter wilayahnya sendiri sehingga pembangunan dapat terlaksana sesuai dengan potensi yang ada dengan mengarah kepada tujuan. Pejabat pemerintahan di daerah juga lebih dapat bertanggung jawab karena melakukannya secara mandiri atas apa yang dilakukan pada wilayahnya sendiri. Dengan keleluasaan tersebut, diharapkan kreativitas daerah dalam mengatasi berbagai permasalahan domestik akan terpacu dan mampu meningkatkan kapabilitasnya sebagai wilayah yang tidak hanya memiliki kekayaan sumber daya alam saja, namun juga sumber daya manusianya. Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat di daerah dapat tercapai dan kesenjangan sosial atas tidak meratanya pembangunan dengan wilayah pusat dapat dikurangi.
Sementara itu, tugas pemerintah pusat lebih dapat terorganisir dengan berkurangnya wewenang atas pembangunan di daerah. Pemerintah pusat dapat lebih berkonsentrasi terhadap permasalahan makro yang harus dihadapi negara. Pemerintah juga dapat mengatur pembangunan secara nasional dan mengawasi jalannya pembangunan agar pemerataan daerah dapat tercapai. Selain itu, pemerintah pusat juga dapat lebih fokus memajukan dan melindungi negara dari ancaman baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Namun Tujuan perubahan sistem dari sentralistik top-down menjadi desentralistik bottom-up tidak selamanya berdampak baik. Bahkan banyak permasalahan baru yang timbul. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
  1. Pemerintah daerah masih belum dapat melepaskan diri dari ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Desentralisasi yang menghasilkan otonomi daerah ini tidak sepenuhnya dapat dijalankan oleh seluruh daerah di Indonesia. Kota-kota besar yang telah mendapatkan keuntungan pembangunan sejak orde lama dan orde baru mungkin dapat mengikuti proses otonomi. Namun tidak sama halnya dengan daerah-daerah terpencil atau daerah yang lokasinya jauh dari pusat. Pejabat daerah yang pada masa sebelumnya tidak pernah menerima kepercayaan dari pemerintah pusat untuk mengelola wilayahnya sendiri, dan tiba-tiba setelah adanya otonomi daerah mendapatkan wewenang tersebut, pasti tidak dapat serta merta meengelola wilayahnya. Apalagi pengelolaan kekayaan alam di daerahnya harus dengan dana sendiri. Oleh karena itu, banyak daerah-daerah yang masih tergantung terhadap pusat terutama untuk permasalahan anggaran atau dana pembangunan.
  2. Semakin tingginya penarikan biaya kepada masyarakat. Berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dengan Daerah, sumber penerimaan daerah terdiri dari 2, yaitu pendapatan daerah dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, lain-lain pendapatan. Sedangkan pembiayaan bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran daerah, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Adapun sumber PAD adalah pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, serta komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. Ditilik dari penjelasan tersebut, maka seharusnya PAD terbesar berasal dari hasil pengelolaan dan penjualan kekayaan daerah serta penjualan ataupun pengadaan barang dan jasa daerah sebagai bentuk otonomi daerah. Namun pada kenyataannya, PAD di kebanyakan daerah bersumber dari pajak dan retribusi daerah. Contohnya adalah di Kota Surabaya. Jumlah dana PAD dalam total penerimaan kota tersebut pada tahun 1998 – 2002 paling rendah dibandingkan dengan bagian dana hasil perimbangan serta sumbangan dan bantuan. Sedangkan dari PAD tersebut, pajak daerah serta retribusi menyumbang dana paling tinggi dibandingkan yang lainnya. (http://www.tkp2e-dak.org diakses 12 April 2011). Hal ini menunjukkan masih rendahnya tingkat kreatifitas daerah atas sikap kemandirian otonom. Pajak dan retribusi yang dibebankan kepada masyarakat ini jelas akan menimbulkan kesulitan dalam kehidupan perekonomian masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan desentralisasi tidak dapat tercapai.
  3. Kasus-kasus korupsi oleh pejabat-pejabat pemerintah daerah. Adanya sistem desentralisasi ini bukan berarti bebas dari permasalahan korupsi. Bahkan otonomi daerah mampu menciptakan koruptor-koruptor kecil dari daerah. Berdasarkan laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW), pada tahun 2004 terjadi 432 kasus korupsi di Indonesia dengan berbagai macam aktor, modus, dan kerugian negara. Adapun 83 kasus melibatkan kepala daerah, dan 124 kasus melibatkan anggota DPRD. (http://www.suarapembaruan.com/News/2005/01/19/index.html diakses 15 April 2005). Data tersebut seolah menjelaskan bahwa terjadi monopoli kekuasaan oleh pejabat daerah berupa kepala daerah dan legislatifnya.
  4. Kurang jelasnya dikotomi kekuasaan pemerintah. Pembagian kewenangan baik pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota yang diatur oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 terkait otonomi daerah masih belum jelas, terutama hubungan antara pejabat pemerintahan provinsi dengan kabupaten/kota. Dalam otonomi daerah, gubernur tidak lagi menjadi atasan walikota ataupun bupati dikarenakan unit pelaksana otonomi daerah berada pada tingkat kabupaten dan kota. Oleh karena itu, kekuasaan gubernur hanya terbatas kekuasaan administratif. Hal tersebut mengakibatkan tumpang tindihnya wewenang pemerintahan.
  5. Pemekaran wilayah yang berlebihan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, pemekaran wilayah adalah membagi daerah administrasi (daerah otonom) yang sudah ada menjadi 2 atau lebih daerah otonom baru. Setelah pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, jumlah daerah otonom baru semakin bertambah. Berdasarkan data yang dihimpun BAPPENAS dan UNDP pada tahun 2008, pada tahun 2004, jumlah provinsi bertambah 7 buah menjadi 33 provinsi, sedangkan kabupaten/kota bertambah 37 buah menjadi 440 kabupaten/kota. Adapun berikut ini merupakan grafik pertumbuhan pemekaran wilayah di Indonesia selama periode tahun 1999 hingga 2007.

Gambar 1. Jumlah Kabupaten/Kota dan Provinsi di Indonesia Tahun 1999-2007
(http://www.undp.or.id/pubs/docs/pemekaran_ID.pdf diakses 17 April 2011)

Pemekaran wilayah sebenarnya bukanlah suatu hal yang buruk. Namun dengan kecenderungan peningkatan jumlah daerah pemekaran hampir setiap tahunnya, mulai timbul pertanyaan. Apakah daerah pemekaran tersebut sudah siap untuk berdiri sendiri?
BAPPENAS dalam Kajian Percepatan Pembangunan Daerah Otonom Baru yang dilakukan pada tahun 2005 di Kabupaten Serdang Bedagai (Sumatera Utara), Kabupaten Sekadau (Kalimantan Barat), Kota Tomohon (Sulawesi Utara), Kabupaten Sumbawa Barat (NTB) dan Kota Tasikmalaya (Jawa Barat), memberitakan bahwa PAD tiap daerah tersebut meningkat, namun ketergantungan terhadap dana alokasi umum (DAU) masih tinggi. Selain itu juga terjadi peningkatan belanja pembangunan walaupun apabila dibandingkan dengan belanja rutin proporsinya masih kecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa kualitas pelayanan masyarakat pada daerah-daerah otonom baru tersebut belum meningkat karena pada tahun-tahun awal pemerintah daerah otonom baru memprioritaskan pembangunan pada pembenahan kelembagaan, infrastruktur kelembagaan, personil dan keuangan daerah.

Otonomi Daerah di Provinsi Jawa Barat

Sejak pelaksanaan otonomi daerah, ketergantungan pemerintah Provinsi Jawa Barat terhadap pusat justru semakin tinggi. Hal ini terlihat dari tingginya dana transfer dari pemerintah pusat dari 58,17% menjadi 67,61%. Dana tersebut digunakan untuk membiayai pembelajaan pemerintah daerah. Hal ini berbanding lurus dengan semakin meningkatnya pengeluaran daerah dari Rp. 647,46 milyar menjadi Rp. 3.474,8 milyar dengan pengeluaran tertinggi adalah pengeluaran rutin daerah yang digunakan untuk belanja pegawai yang jumlahnya juga meningkat. (http://repository.ipb.ac.id diakses 17 April 2011).
Adapun apabila dilihat dari proporsi PAD terhadap APBD, pada tahun 2000 meningkat dari 31% menjadi 48,1%. Namun PAD terbesar berasal dari pajak daerah dengan kontribusi 94%. (http://smeru.or.id diakses 15 April 2011).
Batasan kewenangan pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan kabupaten-kabupaten di dalamnya masih belum jelas. Hal ini cenderung menciptakan pungutan ganda serta konflik. Contohnya adalah perda mengenai pungutan TPI. Pemerintah Kabupaten Cirebon dan Ciamis membuat perda TPI dan mengabaikan perda TPI yang sudah dibuat provinsi sebelum otonomi, padahal pihak pemprov sudah menyepakati untuk menggunakan perda sebelumnya. (http://smeru.or.id diakses 15 April 2011). Hal ini jelas menimbulkan kerancuan wewenang yang berakibat pada terjadinya perda ganda.
Setahun setelah penerapan desentralisasi, Jawa Barat mengalami penambahan kota dan kabupaten, bahkan pembentukan provinsi baru, yaitu Provinsi Banten yang didasari oleh Undang-undang No. 23 tahun 2000 dengan wilayah cakupan 4 kabupaten (Tangerang, Serang, Pandeglang dan Lebak) serta 2 kota (Tangerang dan Cilegon) (http://smeru.or.id diakses 15 April 2011). Bahkan sekarang ini ada wacana untuk membentuk provinsi baru, yaitu Provinsi Cirebon yang terdiri dari kecamatan-kecamatan yang berada di wilayah pantai utara, antara lain Subang, Indramayu, Majalengka, Cirebon, dan Kuningan (http://antarajawabarat.com diakses 15 April 2011). Apabila dibandingkan uraian sebelumnya mengenai anggaran dana, kebijakan, dan dikotomi kekuasaan, maka pemekaran di wilayah Jawa Barat seharusnya dikaji ulang karena semua dapat berakibat pada menurunnya kesejahteraan masyarakat Jawa Barat itu sendiri.

solusi permasalahan

Pengelolaan daerah secara mandiri memang tidak mudah. Sikap profesionalitas merupakan kunci utama dalam menyukseskan otonomi daerah. Pejabat daerah seharusnya bersih dari permasalahan korupsi, mampu berpikir kreatif dalam mengelola kekayaannya dan bukan hanya terpaku pada pajak serta retribusi daerah sebagai upaya peningkatan PAD. Pembagian tugas pemerintah baik pusat maupun daerah juga harus jelas. Komunikasi yang baik antara pejabat pemerintahan dapat meminimalisir perbedaan tingkat kepentingan. Kerjasama antar daerah juga dapat menjadi suatu solusi permasalahan otonomi. Perasaan saling melengkapi dan membutuhkan serta merasa saling memiliki sebagai penduduk NKRI dapat dijadikan pondasi untuk membangun kerjasama tersebut. Dengan demikian, pemerataan pembangunan dapat tercapai sehingga kesejahteraan masyarakat mampu terwujud.

kesimpulan

Desentralisasi sebagai suatu perbaikan sistem sentralistik pada era Orde Baru ternyata juga menimbulkan permasalahan. Hal tersebut dikarenakan kurang siapnya pejabat pemerintah baik pusat maupun daerah. Akibatnya pemerintah daerah belum dapat sepenuhnya mandiri dan masih tergantung kepada pusat. Dikotomi kekuasaan dan saling tumpang tindih wewenang serta peraturan di tingkat pusat maupun daerah sering terjadi. Selain itu, perekonomian masyarakat justru semakin dipersulit karena pajak dan retribusi daerah menjadi sumber PAD terbesar. Fenomena pemekaran wilayah pun merajalela akibat kekecewaan terhadap pemerintahan yang ada serta menimbulkan daerah otonom-otonom baru yang dapat dipastikan mengulang permasalahan otonomi sebelumnya. Oleh karena itu, seharusnya pejabat pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah mampu bersikap profesional dalam menyingkapinya. Pembelajaran terhadap kasus-kasus serupa di luar NKRI yang sukses, kerjasama antar daerah dengan mengesampingkan egoisme masing-masing daerah sebenarnya bisa menjadi jalan pemerataan daerah asalkan sikap disiplin dan saling memiliki dipegang teguh.

daftar pustaka

Anonymous. 2005. Otonomi Daerah Menyuburkan Korupsi. (online) (http://www.suarapembaruan.com/News/2005/01/19/index.html) diakses 15 April 2005
Anonymous. 2009. IPB : Gambaran Umum, Kondisi Fiskal, Kemiskinan, dan Ketahanan Pangan di Jawa Barat. (online) (http://repository.ipb.ac.id diakses 17 April 2011).
Anonymous. 2011. (online) (http://antarajawabarat.com diakses 15 April 2011)
Darmawan, Suahasil Nazara, David Jackson, Tauhid Ahmad, Danley Adi Purwanto. 2008. Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007. (online) (http://www.undp.or.id/pubs/docs/pemekaran_ID.pdf diakses 17 April 2011)
Landiyanto, Erlangga. 2005. Kinerja Keuangan dan Strategi Pembangunan Kota di Era Otonomi Daerah: Studi Kasus Kota Surabaya. (online) (http://www.tkp2e-dak.org diakses 12 April 2011).
Rasyid, Ryas. 2010. Makmur Bersama Otonomi Daerah. (online) (www.ryasrasyid.wordpress.com diakses 16 April 2011).
Usman, Syaikhu, Nina Toyamah, M. Sulton Mawardi, Vita Febriany, Ilyas Saad. 2002. Otonomi Daerah dan Iklim Usaha: Kasus Tiga Kabupaten di Jawa Barat. Lembaga Penelitian SMERU. (online) (http://smeru.or.id) diakses 15 April 2011.



1 komentar: