Sabtu, 10 Mei 2014

HOPE



Kemarin, saya barter movies collection sama seorang temen. Kemudian, dia merekomendasikan salah satu film. "Apiikk tenann (read: bagus banget)" katanya sedemikian rupa. Saya manggut-manggut. Oke2. Sorenya, saya pun memutar film yang bersangkutan.

Pas banget, sama kasus yang marak terjadi di Indonesia baru-baru ini. Kasus kekerasan seksual pada anak. Pedofilia. Baca-baca di koran, data yang berhasil di himpun KPAI (Komite Perlindungan Anak Indonesia) dalam setahun terakhir ini (per april 2014) sudah ada 400 kasus. MEN????

Sebenarnya saya turut prihatin sama kasus ini. Terutama sejak kasus yang terjadi di salah satu sekolah di Jakarta mencuat di media. Sejak saat itu banyak banget media yang ngeblow up, nyeritain kasus, hampir setiap hari, hampir setiap waktu. Dari awalnya prihatin, saya jadi penasaran, kemudian terus-terang saya mulai fokus pada kegiatan saya lainnya (maaf).

Pernah gak sih kita berpikir bahwa kita tau perasaan keluarga korban?

Mungkin sering ya.
Tapi mungkin kita belum benar-benar tahu. 

Jadi, perasaan simpati saya berubah setelah menonton film ini. Judulnya HOPE. Harapan. Ceritanya tentang keluarga kecil dengan kehidupan yang standar banget. Si Ayah kerja di pabrik. Si Ibu buka toko kelontong kecil di rumah. Si anak masih kecil nih. Cewek. Namanya Kim So-Won kalo gak salah. Saya lupa marganya, jadi berikutnya dipanggil So-Won aja ya. Nah berdasarkan subtitle nya ketika si Ayah manggil anaknya, diterjemahkannya tu sebagai Hope, jadi saya menduga bahwa arti nama anak itu sendiri Hope. Dugaan saja.

cover movie nya, dapet dari googling sih..

So Won sewaktu di sekolah

Jadi, masalah itu mulai pada suatu pagi gerimis. Kejadiannya pada waktu So Won mau berangkat sekolah. Si anak pergi ke sekolah seperti biasa. Ibunya sempat bilang mau nganter, tapi anaknya bilang gak perlu. Terus si Ibu berpesan supaya lewat jalan besar aja, jangan lewat jalan kecil yang berlumpur. Si anak nurut tuh. Pas dalam perjalanan, sudah deket banget sama sekolah, tiba-tiba dia dicegat sama seorang Ahjussi (paman/ bapak2). Bapaknya tampangnya lusuh banget. Jenggot sama rambutnya dibiarin gak terurus. Dia basah oleh hujan dan bawa layangan. Dari penampilannya aja udah kelihatan ada kata "WARNING" disitu.



"Nak, bapak kehujanan nih. Boleh berbagi payungnya?" kata Bapak itu.

Si So-Won tu bilang gini, "Tapi saya terlambat pak,"

Daann.. settingnya berubah ke hujan yang deras. Terus ke pabrik tempat ayahnya kerja dengan giat. Terus ke rumah tempat ibu nya lagi bikin bibimbap (nasi campur ala-ala gitu) buat sarapan beliau. Terus ke gudang kecil di sebuah gang, tak jauh dari sekolah. Ada tangan kecil yang tergeletak tak berdaya dan kotor entah karena lumpur atau apa, pelan menggapai handphone berwarna pink di tanah.

Yah begitulah. Beberapa saat kemudian, si Ayah dan si Ibu mendapat kabar dari kepolisian bahwa kondisi anaknya tengah kritis. So-Won mengalami kerusakan parah pada anus hingga rektumnya. Akhirnya untuk menyelamatkan nyawa anak kecil itu, ia harus menjalani operasi pengangkatan anus, dan harus menggunakan anus buatan seumur hidupnya. Nyawanya pun tertolong. Operasinya berhasil.

Begitu sadar, si So-Won bertanya pada ayahnya.
"Ayah, bagaimana pekerjaanmu?"
Terus terang menurut saya itu adegan yang cukup mengharukan. Anak kecil itu tahu bahwa ayah dan ibu nya sibuk pekerja. Oleh karena itu, ia sendirilah yang menelepon 911 (kalo disini 119 kali ya). Dia juga menyebutkan kepada ayahnya ciri-ciri orang jahat itu. Orang itu harus ditangkap, katanya. Si Ayah berusaha menenangkan anaknya. 
"Aku ngantuk, ayah. Aku takut aku akan lupa begitu tidur" katanya. Kemudian si Ayah berjanji akan menangkap si penjahat.

Beberapa hari kemudian, polisi tengah mengantongi nama-nama yang sesuai dengan sidik jari yang ditemukan di TKP. Namun polisi kesulitan mengeluarkan surat ijin penangkapan karena belum cukup bukti. Sidik jari bukanlah bukti yang meyakinkan karena siapa saja bisa berada disitu. Kecuali ada bukti DNA yang sesuai atau kesaksian dari korban. Oleh karena itu dengan terpaksa si Ayah meminta So-Won untuk menunjuk "Ahjussi jahat" yang telah tega mencelakainya. Ditemani psikiater (dan direkam oleh polisi) So-Won pun cukup sadar untuk menunjuk pada daftar orang yang disediakan kepolisian. Berbekal dari itulah penangkapan dilakukan.

Begitu pelaku ditangkap, kasus tersebut tercium media. Kasusnya menjadi besar. Tak hanya surat kabar dan radio, namun televisi juga menayangkannya. Di kantor polisi, bahkan di rumah sakit, media berusaha mengejar berita. Di kepolisian, ketika Si Ayah kesana karena mendengar kabar bahwa pelakunya telah tertangkap, media tak sengaja mengetahuinya. Udah gitu begitu balik ke rumah sakit, udah banyak media aja yang ngeliput. Terendap-endap ia ke anaknya, ternyata anaknya udah dipindah ke bangsal karena alasan biaya, maklum lah mereka berasal dari keluarga biasa. Nah, di bangsal itu, justru orang-orang disana, para keluarga pasien yang lainnya rame-rame ngegosip tentang kasus pedofilia itu. Tidak ingin So-Won mendengarnya dan jadi minder, ia segera dipindah ke kamar, yang lebih ekslusif tak mengapa, asal psikologis anaknya tidak semakin turun. Pas pemindahan itu mereka papasan sama media, apalagi media udah tahu tampang si Ayah kan. Akhirnya, si ayah gendong So-Won sambil lari-larian ke kamar yang baru. So-Won yang terkejut hanya mampu bengong ngeliat media yang tengah berusaha mengambil gambarnya. Begitu sampe di kamar, So-Won bertanya pada ayahnya.
“Ayah, apa aku telah berbuat jahat?” mungkin karena mereka seolah melarikan diri dari orang-orang itu yaa. Si Ayah pun menggeleng cepat.



Kemudian, air dari kantong anus So-Won kayaknya bocor. Air berwarna kuning (maaf ya) keluar merembes ke baju dan kasur. So-Won keliatan shock. Ayahnya jadi shock juga. Segera Ayahnya berusaha menenangkan So-Won sambil berusaha membersihkan nya. Ia berusaha membuka baju So-Won untuk menggantinya. Dan mungkin karena masih shock, masih trauma dan sebagainya, SoWon berusaha keras menolaknya. Namun ayahnya terlanjur dalam kondisi panik. Ia tidak bisa mendengar penolakan So Won. Hingga gadis kecil itu mengalami kram. Detak jantungnya naik pesat. Sempat tertegun, ayahnya kemudian berusaha memanggil medis. Untunglah, nyawa So Won selamat.

Singkat cerita nih, si Ibu ternyata hamil adiknya So Won, usia kandungan sudah 5 bulan. Dan sejak kejadian itu, So Won tidak mau bertemu ayahnya. Si Ayah kemudian gak patah semangat. Ia rela berkostum kokomong (tokoh kartun kesukaan So Won) di setiap malam untuk menyemangati anaknya itu. Sementara itu, kasus persidangan penjahatnya juga dimulai. Tapi penjahatnya mengaku tidak ingat karena ia sedang mabuk berat. Bahkan ia mengaku bahwa baju dan sepatunya hilang beberapa hari sebelumnya dan dikembalikan setelah kejadian itu. Gak masuk akal banget kan??
Serius! Saya jadi inget kasus di Indonesia. Mereka udah ngerenggut masa ceria seseorang –atau lebih- dan dengan santainya nyari alasan? Hei.

Lanjut ya.
So Won perlahan pulih. Dibantu seorang psikiater, ia berkembang, dari yang sebelumnya tak mau bicara sama sekali, kemudian berkomunikasi dengan menulisnya, hingga ia mau mengucapkan sendiri jawaban atas pertanyaan yang diajukan psikiater. Ada beberapa scene yang membuat air mata saya tidak bisa berhenti pemirsa. Ada saat, So Won menceritakan kepada psikiater itu pada waktu kejadian terjadi.
“Sewaktu ia memintaku membagi payung dengannya, aku sempat ragu. Aku tahu dia termasuk orang asing, bahkan aku sudah terlambat masuk ke sekolah, tapi dia basah kehujanan. Jadi aku pun membaginya. Semua orang menyalahkanku. Meskipun aku berusaha berbuat baik,”



Sir?
Seorang anak kecil, mempunyai pemikiran seperti itu. Bukankah gak berlebihan kalo ada ungkapan bahwa anak kecil itu seperti malaikat, innocent, suci. Mereka tulus, guys...
#hol

Terus, ada lagi adegan yang... ckckck, bikin saya mengutuk pelaku pedofilia. Dimanapun.

So Won suatu waktu menceritakan tentang neneknya.
“Nenekku, ada kalanya ia merasa sangat tertekan. Ia sering mengucapkan suatu hal,”
“Apa itu?” tanya psikiaternya.
Aku ingin mati, aku ingin mati...”
Meeeeeeenn. Itu terucap dari mulut seorang anak kecil, seolah itu mewakili dirinya sendiri. Psikiaternya sempat tertegun beberapa saat.
“Menurutmu, apa arti mati itu?”
So Won menunduk.
“Jika aku tidak pernah dilahirkan di dunia...”
JLEB! JLEBB!
Seorang anak kecil, sudah kehilangan keinginan untuk hidup seperti itu??
Aku langsung membayangkan para korban, tak hanya di Indonesia, tapi juga di belahan bumi lainnya. Apakah mereka juga sempat berpikir seperti itu?
#hol




Yah, intinya sihh, si So Won ini punya penampilan yang tegar, tapi hatinya benar-benar terluka. Suatu saat psikiater tanya, tempat yang paling ingin dia kunjungi setelah keluar dari rumah sakit. So Won menjawab sekolah. Ia kangen. Sama teman-temannya juga. Tapi itu tak mungkin. Karena ia malu. Ia tak ingin teman-temannya tahu keadaannya.
So Won benar-benar sudah kehilangan semangat.

Tapi untung saja ia memiliki keluarga dan teman-teman yang menyayanginya. Ketika sekolah, ia selalu berangkat ditemani teman-temannya yang dulu sering mengusili. Bahkan, ayahnya disela-sela waktu makan siang beliau, selalu pergi ke sekolah So Won dan berkostum kokomong hanya untuk menghibur anaknya itu.



Ni sewaktu si kokomong menghibur So Won di sekolah


Ternyata So Won udah tahu kalo si kokomong tu ayahnya

Akhir cerita sih, So Won harus bersaksi di pengadilan. Tapi lantaran penjahatnya diyakini lagi mabuk –yang diperkuat oleh kesaksian So Won dari bau alkohol si ahjussi pada saat itu- maka hukumannya jauh lebih ringan, cuman 12 tahun penjara. Bahkan nanti begitu keluar, si So Won belum genap 20 tahun. Merasa tidak terima dengan keputusan hakim, ayah So Won sempat mengambil papan nama dari kayu di pengadilan untuk ditusuk ke penjahat itu, tapi cepat-cepat dihentikan sama So Won.




So Won sewaktu berusaha menghentikan ayahnya

 Ruwet banget rasanya perasaan saya waktu itu.
Ahhh, ternyata masih baik aja hatinya So Won meski udah dijahati kayak gitu. Tapi mungkin kalo dilanjutin bisa aja ayahnya dipenjara juga kan ya. Tapi gitu ya, gara-gara orang mabuk malah hukumannya diperingan dengan alasan dia tak sengaja dan tak ingat. Mengemudi mobil saat mabuk aja kena tilang, bukannya loginya harusnya hukumannya ditambah? Sama aja dah dimana-mana.

Tetep aja, korban tetep jadi korban. Mereka minta peradilan bukan karena ingin mengembalikan semua itu seperti sebelum mimpi buruk itu terjadi. Tapi, mereka ingin keadilan. Dan memastikan bahwa mereka bisa hidup lagi setelah itu, meskipun tidak akan sama lagi. Dan tidak ada lagi korban yang jatuh lainnya.
Mungkin yang terakhir sedikit hipokrit, tapi.. bisa jadi seperti itu.

Dari film itu, saya jadi lebih memahami perasaan korban. Mungkin saya tidak benar-benar tahu bagaimana perasaan mereka. Entahlah. Tapi rasanya tidak adil untuk mereka.

Ya.

Oh ya, ada quote yang menarik dari film ini.






Orang yang paling sedih bisa tersenyum paling cerah, karena mereka tidak ingin orang lain merasakan rasa sakit yang sama seperti yang dialaminya (NN).


Kamu dilahirkan adalah anugerah.


P.s thanks to my dearest friend, Gabriel Arni for the movie recommendation J



Tidak ada komentar:

Posting Komentar