Selasa, 06 September 2011

Hujan Turun



‘Waktu hujan turun,
di sudut gelap mataku begitu derasnya
Kan kucoba bertahan..’

PLOK! PLOK!
Aku menoleh. Kulihat siluet Eno di depan mataku. Tubuhnya dilumeri air. Jaket hitam tebal yang menyelimuti tubuh bidangnya memang tidak cukup memperlihatkan hal itu, namun rambut hitam lebatnya yang turun dan basah menunjukkan bahwa ia baru saja menembus hujan.
“....” Eno nampak mengatakan sesuatu. Entah karena suara hujan, ataukah musik up beat di telingaku, atau bahkan campuran keduanya, ucapannya tak dapat kumengerti sama sekali, pun dari gerak bibirnya. Maka, segera kulepas headset yang kukenakan sedari tadi. Rupanya cukup membantu.
“Sudah lama?” teriaknya di dekat telingaku, berusaha mengalahkan suara hujan. Aku pun menyematkan senyum. Kugeleng secepat mungkin. Untukmu, 1 jam tak berarti apapun. Tak kan bisa dibandingkan dengan 5 tahunmu dalam menungguku.
“Kau basah,” aku mengelap air yang menetes dari ujung poninya yang menutup sebagian alis kanannya. Cepat ia menangkap tanganku dan menurunkannya. Senyumnya yang menawan langsung memusnahkan rasa heranku atas reaksinya.
“Kenapa tiba-tiba ingin bertemu?” tanyanya melembut. Hujan memang sudah agak reda. Ia tak perlu lagi berteriak seperti sebelumnya. Suara beratnya yang indah itupun dapat terdengar sempurna. Suara yang sempat kurindukan bertahun-tahun lamanya.
“Ann..?”
Kedua alisnya bertaut memperlihatkan wajah tampannya yang tengah keheranan. Aku tersenyum. Kutarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan.
Oke, Anndity, sudah waktunya.
“Eno,” aku mulai membuka pembicaraan dengan mengucap namanya selembut mungkin. “Kau tahu? Beberapa hari yang lalu, aku dan mama ke rumah sakit kota,” aku diam sejenak. Menunggu reaksinya. Namun ia bergeming. Kulanjutkan lambat-lambat.
“Sepupuku diopname,” kataku kemudian. Kutatap wajahnya. Penasaran atas reaksinya yang tenang.
“Lia, kau tahu?” tanyaku sedikit memaksa. Bagaimana ia bisa begitu kalem dan tak emosional sama sekali? “Eno..?”
“Ya,” dia akhirnya menjawab. “Aku sudah mendengar kabarnya,” lanjutnya kemudian. Aku mengangguk-angguk. Oke, sepertinya akan cukup alot.
“Sudah menjenguknya?” tanyaku kemudian. Kudapati Eno hanya menatap lantai. Kedua tangannya menggenggam erat, bertumpu pada lututnya. “No..?” aku memiringkan kepala, berusaha menatap wajahnya. Lagi-lagi aku sangat penasaran pada raut mukanya yang sulit terbaca.
Aku pun berdiri. Menyerah. Pelan aku berjalan ke pinggir. Kupandangi genangan air di jalan depan gazebo kami. “Lia..” aku berhenti sejenak untuk sekedar mengambil nafas.
“Selain cantik, ia juga baik,” aku menolehkan wajahku ke arah Eno. Ketika ia melihatku dengan pandangannya yang masih belum dapat kuterka, kupalingkan wajah kembali. “Ia pasti sudah menjagamu dengan baik saat aku tak ada di sini,” lanjutku berusaha tersenyum. Sial, berat juga.
Eno sama sekali tak mengucap sepatah katapun. Aku berpikir keras. Bagaimana harus menyampaikannya, terutama agar tak melukai perasaannya. Dan perasaanku.
“Apa kau sudah menjenguknya?” ia tetap tak membuka suara. Ya Tuhan, berikanlah aku kekuatan. Huff.. pelan, aku berjalan maju. Jongkok, kemudian kuletakkan lututku di lantai. Kuangkat kedua tanganku hingga menyentuh wajahnya. Aku memasangnya tepat di depan wajahku agar aku dapat melihat reaksinya, dan mengira-ngira apa yang tengah dipikirnya.
“Kau sudah menjenguknya?” tanyaku dengan sedikit penekanan. Terdengar mulai tak sabaran, walau sebenarnya aku lebih ingin menunggu. Pelan, -akhirnya- ia menggeleng. Aku menarik nafas untuk kesekian kalinya.
“Kau harus menjenguknya, dudul” kusentuh hidungnya yang mancung dengan telunjukku. Ia tak merespon. Wajahnya terlihat sedih. Indah, tapi rapuh. Oh Tuhan..
Tak kuat, akupun berdiri. Menyandarkan tubuhku pada tiang gazebo dan membelakanginya. Kulemparkan pandanganku pada awan biru di langit. Tak sengaja, aku menemukan pelangi. Hujan memang sudah benar-benar reda. Udara begitu segar. Seharusnya, semua akan secerah ini.
Lama kami terdiam. Kami sama sekali tak membuka percakapan. Akupun sedang malas mendesaknya. Menyerah. Entah ide apalagi yang akan muncul di otakku agar kutemukan jawaban yang kuinginkan.
“Aku..” tiba-tiba Eno bersuara. Aku terdiam. Menunggu dengan was-was. Belum berani aku bergerak dan menoleh padanya. “Aku tak harus menjenguknya,” lanjut Eno kemudian. Pernyataannya membuatku terhenyak. Tiba-tiba, jantungku berdegup tak beraturan. Aku mulai bisa menerka. Terkaan pada kemungkinan terburuk.
Oke, kuatur hatiku tanpa membuang waktu lama. Setelah agak tenang, aku mulai membuka suara.
“Waktu kudengar kau kecelakaan,” kataku lirih. Memori beberapa tahun lalu segera merasuki benakku tanpa dapat kucegah. Betapa aku hanya mampu memandangi potret-potret dirinya yang selalu kusimpan rapi. Betapa aku hanya dapat menunggu kabar darinya dengan perasaan was-was. Betapa aku hanya bisa menyesali keberadaanku yang pada waktu itu tak mampu mendampinginya, bersamanya, merawatnya, melindunginya.
“Aku hanya bisa berdoa,” lanjutku berusaha tegar. Kenangan itu mampu menyesakkan dadaku, dan mencekat hingga ke tenggorokan. Ya, satu-satunya yang dapat kulakukan adalah berdoa. Siang dan malam, setiap waktu. Berdoa atas keselamatan dan kesembuhannya. Menyedihkan.
“Aku pasti akan segera pulang kalau bukan kamu sendiri yang melarangku! Benar-benar menyiksa, tau!” lanjutku menggebu-gebu. Eno menyematkan senyum. Betapa tampannya. Sayang..
“Mungkin kau tak bisa membayangkan, tapi aku benar-benar ingin merawatmu. Bahkan, saking kesalnya, seringkali aku mengutuk orang yang menabrakmu itu,” aku bersungut-sungut.
“Bodoh!” ia tertawa kecil. Hmmm, kali ini ia mampu menanggapi dengan baik.
“Ya, bodoh sekali..” aku menerawang. “Kan ada Lia..”
Tawa Eno berhenti seketika. Aku memandang wajahnya. Ia nampak kembali kaku. Bodoh, perkataanku barusan terdengar memojokkan Lia. Bodoh. Bodoh. Tapi..
“Lia benar-benar baik. Aku tidak salah memilih orang. Kudengar, ia merawatmu siang dan malam..” semakin lama perkataanku semakin memojokkan Lia. Memalukan, tapi entah kenapa semua terucap begitu saja.
“Kamu beruntung lho dirawat gadis secantik Lia,”
“Ann, sudahlah..”
“Pintar, baik, sabar, feminin,” menyedihkan. Apa yang kuucapkan? Kenapa aku begini memalukan?
“Ann!” semakin mendengar larangan Eno, justru membuat mulutku semakin tak terjaga. Semangat itu datang tiba-tiba.
“Cowok-cowok di kampusnya banyak yang mengejarnya lho”
“Anndity!” Eno –sampai- berdiri. Tanpa melihat wajahnya pun aku tahu, aku sudah keterlaluan. Memojokkan orang yang tak ada di sini, yang sedang terbaring sakit. Bodoh.
Hhh.. aku menghela nafas berat.
“Lia menyukaimu,” kataku langsung. Dengan pengecut, aku membelakanginya. Diam, lagi-lagi. Lama, hingga Eno memutuskan untuk berjalan ke arahku dan berhenti tepat di sampingku.
“Sudahlah, Ann. Aku..” aku menolehkan mukaku padanya. Kudapati matanya yang awalnya penuh kepercayaan diri segera meredup. Ia gelagapan, dan sedetik kemudian melempar muka. Terjawab sudah.
“Pergilah, No” Tuhan, kukatakan juga. Tanpa berpikir panjang.
Eno menoleh. Menatapku. Entah apa arti raut mukanya. Tak dapat dan tak sanggup kubaca. Aku sudah hampir kehabisan daya.
“Dia membutuhkanmu,” aku menelan ludah. Berat. “Aku tahu, hatimu sudah tak lagi untukku,” kucoba menyematkan senyum. Eno membelalakkan matanya. Rupanya ia benar-benar terkejut. Ya, Eno. Aku sudah lama menduganya.
Sampai beberapa menit Eno tak mampu menanggapi. Aku pun mulai tak sabaran. Tak kan kubiarkan tangisku pecah di hadapanmu..
“Aku berharap salah duga, sungguh” kataku pelan. “Tapi thoh kau tak mengelak kan?” hmm. Apa yang kukatakan. Lepaskan, jangan harapkan lagi. Ikhlaskan.
Akhirnya, Eno menyerah. Sepertinya pertahanan yang dibuatnya runtuh juga. Ia mengernyit. Tangannya memegang kepalaku dan mematutkannya pada kepalanya. Kedua dagu kami pun bersentuhan.
Lama Eno tak kunjung bicara. Kulirik matanya. Ia tengah terpejam. Apalagi yang sedang kau pikirkan? Bahkan aku tak mampu mendengarnya dalam jarak sedekat ini.
“Maafkan aku, Ann” katanya lirih, sangat lirih, namun terdengar jelas di telinga, otak, dan hatiku.
Tuhan. Kalau biasanya aku hanya merasakan robekan, sekarang aku merasakan tikaman. Dan itu jauh lebih sakit. Sakit yang membuat otakku tak mampu mengeluarkan satu huruf pun. Sakit yang membuat benakku dibanjiri berbagai macam pertanyaan yang tak dapat terbaca. Sakit yang mampu membuat sekujur tubuhku lemas. Sakit yang mampu membuat dorongan dalam dadaku terasa menyesakkan. Sakit yang mampu membuat luapan perasaanku tercekat di tenggorokan dan terasa membatu. Sakit yang mampu membuat kelenjar air mataku bekerja ekstra keras hingga ia mengalir begitu saja tanpa ada halangan. Sakit yang mampu membuat bibirku kugigit erat-erat. Dan sakit yang mampu membuat tanganku terangkat, bermaksud memeluknya, namun harus kuturunkan kembali saat suara yang mengatakan bahwa ia bukan milikku lagi menyesakkan seluruh syarafku.
Pelan Eno menghapus air mataku. Ia hanya mampu mengucap maaf pada setiap sentuhan tangannya di pipiku. Aku pun hanya mampu mengangguk dan mengangguk untuk setiap ucapannya.
“Temui..Lia,” kataku tersendat. Eno tampak sangat ragu. Keraguan yang sedikit membahagiakan sekaligus membuatku semakin tertekan.
“Aku...baik-baik..saja,” kataku masih terisak. Namun genggaman Eno justru semakin erat. Cepat. Aku sudah tak kuat menahan.
“Pergi, bodoh!” aku melepaskannya sekuat tenaga. Kudorong ia menjauh. Ia berdiri kebingungan. Pergilah Eno. Pergilah menemuinya..
“Kumohon...” kataku kemudian. Eno menggigit bibir. Matanya berkaca-kaca. Kemudian ia mengangguk dan membalikkan badan. Akhirnya.
“Ann!” belum beberapa detik teriakan Eno sudah memenuhi otakku lagi. Aku pun menoleh ke asal suara begitu sadar bahwa Eno masih di tempat.
“Aku masih menyukaimu,” katanya dengan senyum yang manis. Lemas, aku jatuh terduduk. Aku sudah tak sanggup menopangnya lagi. Eno berbalik dan berlari pergi.
“Bodoh, aku pun masih sangat menyukaimu,”

‘Tak ada waktu tuk menjelaskan, tak sangka ini kan datang
Tiap liku berbagi hidup, sejenak melepas lelah
Kau tinggalkan diriku

Waktu hujan turun di sudut gelap mataku
Begitu derasnya kan kucoba bertahan

Ingat kembali yang terjadi, tiap langkah yang kita pilih
Mesti terkadang perih
Harapan untuk yang terbaik, sekeras karang kita coba
Tetap kau tinggal diriku

Tak akan kuhalangi walau ku tak ingin kau pergi
Kan kubangun rumah ini walau tanpa dirimu, walau tanpa dirimu

Waktu hujan turun di sudut gelap mataku
Begitu derasnya kan kucoba bertahan
Waktu hujan turun di sudut gelap mataku
Begitu begitu begitu hebatnya kan kucoba bertahan’
(Hujan Turun – Sheila On 7)

Suara keras musik di telingaku, mengantarkanku pada kenangan beberapa hari yang lalu. Saat tak sengaja aku menjelajahi buku catatan Lia ketika tengah menyiapkan pakaian yang akan kuantarkan padanya.
‘Berikan aku kekuatan, Tuhan. Jika cinta kami tak dapat bersatu, maka ijinkanlah aku bahagia atas kebahagiaan Ann dan Eno. Mereka sudah menunggu selama 5 tahun. Dan aku tak berhak merusaknya. Namun jika cinta kami dapat direstui, maka berikanlah pengganti yang jauh lebih sempurna untuk Ann. Karna dialah gadis terbaik yang pernah mengisi hariku. Dan berikanlah aku waktu yang panjang untuk mencintai dan dicintai oleh pria paling sempurna dalam duniaku. Karna jika itu terjadi, aku akan berjuang melawan penyakit ini’
“Huh, bodoh!” kulepas headsetku dan melemparnya sejauh mungkin. Mataku menjelajahi genangan air di jalan, bau tanah yang basah, tetesan air yang lamat-lamat pada dedaunan, dan pelangi yang masih singgah di mega.
“Tujuh. Aku menunggunya selama 7 tahun untuk memperoleh cintanya. Kau kira mudah mendapatkannya? Kau kira mudah meninggalkannya setelah berhasil kuraih hatinya?! Dan kau kira mudah mengikhlaskannya padamu setelah semua itu? Bodoh..”
Dan hujan di mataku pun turun.




Malang, 26/04/2011 0:30 am

Tidak ada komentar:

Posting Komentar