Sabtu, 13 Maret 2010

Drama Queen

Drama Queen



Bulan selalu muncul kala gelap..
Dan mentari hanya berani saat siang.
Bintang,, tak ubahnya pengecut di balik rembulan..
Dan aku jauh lebih hina
Kehadiranku kala terang tak kan sebanding dengan mentari
Akupun hanya dapat menambah gelap malam
Karna aku awan..
Hanya mampu memberi hujan.

“Iriiinnn…!!”
Aku menghentikan kegiatan menulisku sejenak. Lalu menghela.. Lampir itu lagi..
KRIEETT!!
Benar juga. Wajah ayu Diana segera muncul di balik pintu.
“Minta parfum,” suara cemprengnya segera mengisi rongga-rongga gelap dalam kamarku. Heran, suara jelek gitu malah bisa memikat ratusan cowok.. Kalo udah gini aku jadi semakin meratap.. Tuhan.. kenapa suaraku berat begini..??
Salah. Ini tidak hanya mengenai suara. Segala hal pada Diana begitu sempurna. Hmm, kuralat. Tidak semua. Suara dan rambutnya yang kaku itu. Tapi bukankah semua tertutupi lantaran wajah ayu plus body semlohainya ? Sudahlah. Aku tak punya cukup waktu untuk membahas hal tak penting ini.
“Di atas meja,”
Diana mendengus. Cukup keras karena aku pun mendengarnya.
“Ambilin,”
Ih.. najis. Tapi tetap saja kulakukan. Aku bangun dari tidurku dan berjalan ke arah meja. Ku ambilkan parfumku dan kuberikan padanya.
“Emang punyamu ke mana?”aku berusaha menghaluskan suaraku. Kuharap ia tak cukup tersinggung.
“Habis,”jawabnya datar sembari berbalik.
“Bukannya kemarin baru beli?”tanyaku sebelum ia menghilang di balik pintu kamarnya yang terletak persis di depanku.
“Oh ya..?”lagi-lagi ia menjawab begitu datar seolah itu tidak terlalu mengganggu pikirannya.
BRAKK. Pintu ditutupnya. Pelan. Tapi kutahu. Ia tak suka dengan pembicaraan kami barusan.
Please de..

Awan tak pernah begitu menarik..
Untuk dibicarakan pun dipikirkan
Karena rembulan maupun mentari akan selalu menjadi pusat
Dan hanya bintang yang mampu menyainginya
Meski ia hanya berdiri di balik bayang sang purnama

“Siapa lagi yang kamu incar?”kulemparkan pertanyaan kala kulihat Rhea tak begitu memperhatikan penjelasan dr. Jody.
“Ben,”jawabnya tanpa mengalihkan perhatian pada BB di tangan.
“BEN??”jawaban Rhea cukup jelas terdengar sebenarnya. Tapi aku refleks mengulangnya. Sebagian hatiku masih tidak percaya. Atau lebih tepatnya,tidak mau menerima.
Rhea memandangku. “Kenapa emang!?”pandangannya jelas menunjukkan bahwa ia tidak suka.
Aku semakin tidak percaya. Padahal baru kemarin aku bilang bahwa aku menyukai Benyamin Jr. –mahasiswa tampan angkatan sebelumku. Dan aku berani bertaruh, lelaki itu yang ia maksud. Karena hanya ada satu cowok dengan selempangan nama ‘Ben’ di kampus.
Sumpah!!! Kenapa dia melakukannya sekali lagi??!! Tidak cukup puaskah dia dulu merebut Vino dariku?? Kenapa dia begitu ingin mengoleksi barang-barang kesukaanku?? Dan, kenapa justru dia yang menunjukkan rasa kesalnya?? Bukankah aku yang seharusnya kesal? Uggh. Son of bit**.
“Kamu !! Silahkan menjelaskan di depan !!” dr.Jody tiba-tiba mengarahkan telunjuknya kepada kami. Tunggu. Kami atau..
“Sa…saya..dok?”setengah tak percaya aku menunjuk diriku sendiri. Wajah dokter yang telah menginjak uzur itu memerah.
“Kamu pikir siapa lagi??!!”suaranya menggelegar. Belum pernah beliau semarah itu. Uggh.. Aku menatap Rhea. Oh damn. Lampir itu menyeringai.

Jika ini suatu kisah,
Maka rembulan ibarat Cleopatra
Dan mentari adalah Juliet
Bintang pastilah tokoh yang kuat pula
Yang ilmuku tak kan bisa menemukan sosok mana yang tepat untuknya
Bagaimana dengan awan?
Awan..
Hanya seorang rakyat jelata tak berkasta
Tanpa pernah disebutkan
Tanpa pernah dipikirkan
Karna tak pernah mengejutkan

“Rin?”kutengokkan kepalaku. Ben telah berdiri dengan senyumnya yang menawan. Memandangku. Dan memberi getar hebat di hatiku. Tapi ketika detik berikutnya bayangan Rhea terlintas di otakku, senyum manis yang biasa ku berikan pun tak mampu ku kulum.
“Kudengar.. Kau tinggal di asrama kampus ya..”
Aku melongo. Ya Tuhan.. Apakah ini pertanda Ben mulai tertarik padaku.
“Rin?”
“Eh. Iya. Aku tinggal di asrama kampus,” akupun harus gelagapan karenanya. Makin menjadi tatkala mataku menangkap senyum yang tersungging di bibir Ben yang indah. Oh Tuhan..
“Kenal..” seketika bayangan indah yang hampir bermunculan di benakku pun menghilang. “Diana?” jawaban Ben semakin menghancurkan anganku.
Diana?? Bukan Rhea??? Bagaimana mungkin?? Apakah ini berarti.. Ugh. Najis. Kenapa lelaki lebih menyukai cewek cantik berhati iblis..? Kenapa mereka lebih tertarik kepada penampilan daripada hati..? Kenapa bahkan Ben yang kupikir berbeda ternyata juga mengincar para lampir..?! Kenapa begitu tak adil..?
“Rin..?” suara Ben membuatku tersentak dan kembali ke alam nyata. Sekuat tenaga aku menelan ludah sebelum menjawab pertanyaannya.
“Diana Larasati..? Kenal donk. Dia satu kota denganku. Kamarnya pas di depan kamarku..” kuatur nadaku seriang mungkin. Ben nampak semakin tertarik.
“Oh, bagaimana kepribadiannya..? Apakah ia baik..?”
Aku terdiam. Entah apa yang harus kujawab. Tidak ada kata yang tepat untuk melukiskan seorang Diana.
“Kenapa Rin..? Apakah kamu tidak suka dengannya..? Apakah ia tidak sebijaksana kelihatannya..?”
“OH BUKAN..!” kusadari kepanikan begitu kentara dalam suaraku. Kuatur lagi hingga pikiranku tenang. “Aku kurang akrab dengannya,” jelas itu bohong jika keakraban yang dimaksud adalah saling berbagi, tidak, maksudku sering membagi. Bibir Ben membentuk huruf “o” besar. Sedikit pilu untukku.
“Kau..” aku masih belum sanggup meneruskannya. Mata Ben mencari tahu di raut mukaku. Begitu polos dan menggemaskan. ‘Kau menyukai Diana ya Ben..?’ itu yang seharusnya kuucapkan namun lidahku tak mengijinkan untuk menyilatkannya.
“Kenapa kau sering mendung Rin..?” pertanyaan Ben membuatku sangat terkejut. Segera kutatap matanya. Namun ketika mataku berpandangan dengan mata elangnya yang mencari-cari sesuatu dalam diriku membuatku tak kuasa untuk melemparkan pandangan.
“Karna aku awan Ben..” jawabku lirih. Untuk beberapa detik tak ada sahutan darinya. Hmm.. awan memang tidak akan pernah semenarik rembulan maupun matahari bagi bintang.
“Awan tak selamanya mendung Rin,”
Aku tertunduk. Kupikir itu tak berlaku untukku Ben..
“Karna awan, hujan datang,” kuangkat mukaku ketika mendengar suaranya lagi, kutatap wajahnya yang tengah pilu memandangku. Pilu. Mungkin. Tapi untuk apa. “Karna awan, matahari tak dapat mengeringkan tanah.. Langit tanpa awan tak berarti cerah..” lanjutnya sembari menatap langit. Kutiru tindakannya. Langit cerah. Dengan awan. Banyak awan. Dia.. sedikit benar.
“Irin..” Ben menyebut namaku. Ketika aku menoleh kepadanya, kali ini ia tersenyum. “Awan tak selalu biru.. Kenapa kau tak jadi yang putih saja..?”
Kenapa aku tak jadi yang putih saja..? Kenapa?
“Sepertinya aku harus pergi dulu, Rin. Sebentar lagi ada kelas dari dr Jody. Kau tahu sendiri kan, telat berarti absen. Sampai ketemu..” sederet kalimat Ben tak mampu kucerna seutuhnya. Ya, anganku masih berkecimuk dengan pertanyaan kecilnya tadi.

Awan tak selamanya memberikan kelam
Awan juga menemani bulan menerangi malamnya
Ia pula lah yang menghiasi mentari
Namun ia tak pernah bersama bintang
Jodoh tidak berlaku bagi mereka

“Apa yang kau tulis?” Diana merebut buku di tanganku. Sejenak ia termenung, namun beberapa detik kemudian dengan bangga ia tertawa. Perbuatannya itu mengundang perhatian orang-orang di sekitar kami. Dan tentu saja, emosi yang sedari tadi kutahan tak dapat kukendalikan.
“Ada yang lucu?” kataku dengan muka dingin. Ia sedikit terkejut dengan perubahan mimikku, namun aku merasa itu tak terlalu mempengaruhi rencananya.
“Oh tentu..” jawabnya lalu membaca tulisan-tulisanku dengan nada layaknya orang membaca puisi. Seketika orang-orang di sekitar kami tertawa.
Gondok. Aku merasa ada sebuah batu besar yang menyekat tenggorokanku dan membuatku sulit menelan ludah. Aku tahu, air telah menggenangi mataku dan membuat bayangan-bayangan di depanku sedikit kabur.
Rhea, yang entah sejak kapan ada di ruangan ini, mendekatiku.
“Kenapa? Kamu nggak mau membela diri, A-W-A-N?” dengan penuh kejam ia menatapku. Gadis itu menyeringai begitu lebar hingga menghilangkan wajah cantiknya.
“Awan akan selalu kelam,” Diana menambahkan. Ia memberikan mimik serius. “Kamu tentu tahu kan siapa yang membuat banjir?” lanjutnya lagi.
Aku diam. “Akan kubantu jawab,” Rhea menyahut. “Yang bikin banjir itu… TUHAN???‼” lanjutnya kemudian tertawa lepas. Tidak ada yang mengikutinya tertawa. Kupikir, ia memang tak pantas menjadi pelawak.
Diana maju mendekatiku. Ia menarik lembaran rambutku pelan dan menatap helaiannya kaku. “Awan lah yang memberi banjir,” kali ini Diana mengalihkan pandangan matanya ke mataku. Ia menatap mataku lekat-lekat.
Oke. Aku sudah cukup lelah meladeni lakon mereka. Aku tidak takut.
“Kalian tahu,” aku mulai bersuara. Kali ini rasa tangis yang sempat melandaku tadi hilang entah kemana. “Sia-sia aku mendengarkan kalian,” lanjutku sembari menarik rambutku kembali dari tangan lentik Diana.
“Tak ada yang menyebut kalian rembulan,” aku menatap Diana, “ataupun matahari,” dan kualihkan pandanganku ke arah Rhea.
“Karena kalian tak pantas menyandangnya,” lanjutku kemudian. Kudengar suara berdengung dari orang-orang yang mengelilingi kami.
“Dan lagi,” kuambil bukuku dari tangan Diana dan memasukkannya ke dalam tas slempangku. Aku memakainya dan bersiap pergi, namun tak lupa kuhampiri mereka untuk yang terakhir kali.
“Banjir disebabkan karena ulah manusia sendiri. Kusesali waktu kalian yang hanya dihabiskan untuk mempermalukan diri karena hal sepele semacam itu,” jawabku lalu berusaha menyeruak lingkaran manusia yang mengelilingi kami. Aku tak akan menoleh ke belakang dan menikmati wajah melongo mereka. Aku sudah cukup puas telah membalas penghinaan mereka.
Ketika kudengar tepukan meriah dari belakang, aku menemukan Ben tengah menyandarkan tubuhnya di dinding ruangan. Kuhentikan langkahku. Otakku tak bisa bekerja, apa yang akan aku lakukan.
“Siapa bintang?” kata Ben kemudian padaku. Meski lirih, aku masih bisa mendengarnya. Kuangkat tanganku pelan dan menunjuk padanya.
“Aku bisa menjadi langit, atau mentari, atau rembulan,” Ben menghampiriku, seketika aku mundur. “Asalkan aku bisa menemanimu, awan,” lanjutnya kemudian.
Aku tersenyum.
Ya. Rembulan, mentari, ataupun awan, itu tidak penting. Aku lah yang menyia-nyiakan semua waktuku untuk hal aneh ini.
Ben mendekatkan wajahnya padaku. Hidung kami bersentuhan saat ia menyodorkan bibirnya mendekati bibirku.
“Tunggu,” aku mendorong dadanya. Wajah tampan Ben berubah heran.
“Bukannya kau sedang mengincar Diana? Rhea juga sedang mendekatimu kan?” aku berusaha memberi pengertian. Ia menggeleng tak terima.
“Oh siapapun akan cukup pintar untuk tidak memilih mereka,” aku mengangguk-angguk mendengar penjelasannya. “Dan siapapun tak kan cukup bodoh untuk melepaskanmu,” Ben tersenyum dan kali ini ia tak menunggu lagi.

5 komentar:

  1. rekkk.. komen yak,, yapa ceritaku..
    aku bikin sendiri lhoh..

    BalasHapus
  2. lumayan dek.. hehehe.
    karakter diana dan rhea-nya kurang menurutku.. kurang menggambarkan sosok son of bitch-nya.

    mampir di blogku ya. ada cerpennya juga looo.. ^^

    BalasHapus
  3. ooo..baiklah2..
    makasih mbakkk

    BalasHapus
  4. like this so much.
    komenku kemarin ternyata ga ke submit ya....

    hihihi,,,
    ternyata lisong bisa melow juga!!

    BalasHapus
  5. ealah ka...
    pantes kemaren tak cari ko gada,, tenyata emang ada human error thoh,, hoho

    iyalah,
    saya i...

    BalasHapus