Rabu, 02 Juni 2010

Untuk Perempuan

Aku memandangi selembar foto yang terselip rapi di dompetku. Di situ ada potret diriku, Fitra sahabatku, dan Kak Riki kekasihku. Kami semua menyematkan senyum manis. Hmm.. nice mask.
Masih menancap kenangan foto itu. Kencan pertamaku dengan Kak Riki yang sangat menyenangkan, namun akhirnya harus berakhir ketika bertemu dengan Fitra yang baru saja putus cinta. Oke, mungkin aku terlalu kejam apabila beranggapan seperti itu. Namun aku tak mau naïf, aku sadar ia sangat baik-baik saja dengan keadaannya. Gadis itu tak memperlihatkan tangisan pilu yang kupikir akan kudengar selama beberapa jam. Ia tak memiliki mimik sedih yang biasa didapatkan gadis yang baru saja putus dengan kekasih tercinta.
Lalu untuk apa dia datang saat itu? Untuk mengganggu first date kami? Dialah yang menanyakan keberadaanku meski dia tahu bahwa aku sedang bersama pacarku, artinya kami bukannya tidak sengaja bertemu. Ia lah yang datang.
Aku tahu dan sangat sadar. Ini memang sirik. Meskipun aku tak ingin memiliki perasaan itu, namun aku tak bisa menahannya. Apalagi hingga sekarang mereka semakin dekat. Dalam hal ini, siapa pacar siapa?

BRAKKKK..‼!
Aku melonjak seketika. Kaget atas suara yang membuatku terjaga dari tidur siangku. Dengan sejuta rasa bingung, aku mengamati sekeliling. Hingga kudapati wajah Lintang, adik semata wayangku yang masih kelas 5 SD, berdiri tak jauh dari meja belajarku. Paras yang tertangkap basah. Kali ini kenakalan apa lagi. Hh..
Aku turun dari tempat tidur dan menghampirinya. Kuangkat kedua tanganku ke pinggang. Aku menunggu penjelasannya tanpa bersuara. Namun perhatianku segera tertuju pada buku harian kesayanganku yang entah sejak kapan ada di samping kaki Lintang.
“Wah, sirik aja lu. Kak Fitra emang lebih cantik. Baik lagi. Ya iyalah, Kak Riki suka…” suara cemprengnya meluncur begitu mulus. Membuat mulutku menganga seketika. Belum sempat aku melemparinya cacian, ia segera berlari ke luar kamar tanpa lupa memberikan cobekan jeleknya.
“JANGAN BACA BUKU HARIAN ORANG…‼‼”


Kak Fitra emang lebih cantik. Baik lagi. Ya iyalah, Kak Riki suka…
Ingatanku kembali pada perkataan Lintang beberapa hari silam. Hal ini menambah resahku dan menorehkan luka yang entah untuk keberapa kali di ulu hatiku. Sakit.
Memori tadi siang kembali menyeruak dalam bayangku. Hujan deras. Langit kelam. Di gedung lama kampus kami.
“Ayok pulang..” seperti biasa Kak Riki menghampiri kelasku. Aku menepukkan kedua telapak tanganku di depan muka. Sembari tersenyum sungkan aku memohon maaf.
“Kelompokan habis ini..” Kak Riki mengangguk maklum. Aku sedikit lega mengetahui reaksinya yang mau mengerti. “Fitra juga?” pertanyaan Kak Riki itu sedikit mengagetkanku. Fitra ya..
“Nggak kayaknya. Mau pulang bareng dia? Lagi di toilet sekarang,” jawabku berusaha berpikir positif. Kami memang biasa pulang bertiga.
“Kakak mau naik bus?” tanyaku ketika kekasihku itu mau beranjak pergi. Dia sedikit berpikir. “Mungkin,” jawabnya kemudian berpamitan pulang.
Mungkin?
Perasaan tidak enak yang kudapatkan dari sikapnya terbukti saat tak sengaja aku melihat ke luar jendela. Di bawah, sangat kukenali sosok itu. Kak Riki, tengah mengangkat jaketnya dan menudungkannya pada Fitra. Berdua berlari-lari kecil menembus hujan. Tak ada bus.
Mereka terus berlari hingga hilang dari pandanganku. Saat itulah, aku merasa hantaman keras memukul dadaku. Desir itu pelan, namun getirnya hebat.
Dan ketika kenangan itu terus terbayang berkali-kali dalam benakku, ketika itulah air telah sering jatuh dari kedua mataku. Aku hancur. Dan tak kubiarkan seorang pun tahu.



“Putus..” blank. Aku tak bisa berpikir ataupun merasakan apapun ketika kudengar kalimat itu dari mulut Kak Riki. Cowok itu mengangguk pelan. Putus.. putus…
“Kupikir, tak ada kecocokan di antara kita,” lanjut Kak Riki lekas-lekas. “Ketika aku menerima pernyataan cintamu, kupikir nantinya aku akan suka padamu. Tapi hingga sekarang, rasa itu tak pernah ada,” aku tahu ia bersusah payah mengatakannya agar tak menyakiti hatiku. Tapi tetap saja kata demi kata yang ia ucapkan membuat hatiku tergores lagi.
“Sejauh ini, kau adik bagiku..” dan Fitra seperti kekasih untukmu. Aku yakin itu.
Kak Riki menarik tanganku lembut. Mengusapnya pelan. Seolah memberiku kekuatan. Terus terang itu membuatku keberatan. Kalau memang sudah tak mau bersama, tolong jangan seperti memberi harapan.
“Jangan katakan pada Fitra dulu bahwa kita udah putus ya,” Kak Riki memberikan senyuman manisnya untukku. Fitra lagi, kan? Bagus. Memang karena Fitra. Lalu kenapa tak boleh? Apa karena kita baru pacaran 3 bulan? Kurang lama kah untuk sebuah alasan keharmonisan hubungan yang akan ditunjukkan pada Fitra yang cantik dan manis itu? Ataukah agar Fitra tidak sakit hati karena telah gagal menjodohkan kami berdua selama ini? Helooo, dia bahkan belum menanyakan pendapatku bagaimana perasaanku terhadap keputusan sepihaknya itu. Hubungan ini hanya berdasarkan perasaannya saja ya? Oh ya, bukan. Tapi perasaannya, DAN PERASAAN FITRA SEBAGAI MAK COMBLANG!
Kak Riki menepuk-nepuk punggung tanganku yang ada di genggaman tangannya. “Terimakasih selama ini,” katanya kemudian dan melepaskan tangannya. Ia beranjak berdiri dan menuju ke meja kasir untuk membayar minuman kami. Tak lama, sosoknya telah hilang dari pandanganku. Tak berbekas. Hanya itu perpisahannya.
Hampir 2 menit pikiranku kosong. Apakah akan kubiarkan berakhir seperti ini? Oke kalau kenangan kami selama ini tidak berarti apa-apa baginya. Tapi bagaimana denganku? Aku tidak akan pernah bisa melupakan setiap memori indah bersamanya. Setidaknya, aku tidak ingin berakhir seperti ini.
Segera aku meraih tas tanganku dan berlari menyusul Kak Riki ke area parkir. Aku masih melihat motornya terpojok rapi. Kemana dia? Dengan setengah panik aku mencarinya.
JREPPP. Bagai sembilu tajam, aku menemukan sosoknya. Sakit itu datang lagi. Orang yang kukasihi selama ini, yang tak akan lagi memperlakukanku dengan indah seperti kemarin. Kak Riki, sayangku.
Kulihat asap mengepul dari mulutnya. Sejak kapan ia merokok? Aku mendekatinya. Sengaja aku batuk, ia menoleh. Segera dibuangnya puntung rokok dan mematikannya dengan sepatu yang dikenakannya.
“Maaf,” kenapa dia minta maaf? Toh aku tidak memiliki wewenang untuk melarangnya merokok. “Keputusan ini tidak mudah untukku,” lanjutnya kaku. Aku tersenyum. Ternyata bukan hanya aku yang merasakannya. Kenangan kami selama ini juga berarti untuknya.
Perlahan aku menghampirinya dan berhenti tak kurang 1 kaki darinya. “Setidaknya, antarkan aku pulang,” kataku pelan. Ia tertegun. Sesegera mungkin ia mengangguk. Ia segera menuju ke motor vespa antik kesayangannya.
Tak ada lagi gandengan tangan. Tak ada lagi tuntunan seperti biasa. Bahkan, kali ini aku harus mengenakan helm sendiri. Dan tak ada lagi rangkulan di pinggangnya ketika motor telah berjalan. Hak itu sudah hilang. Sekuat tenaga aku menggigit kelopak bibirku. Aku tak ingin tangis itu pecah. Aku tak ingin ia merasa keputusannya itu salah.
“Kapan Kak Riki akan mendekatinya?” tanyaku dengan tetap di motor meski kami telah berhenti tepat di depan rumah. Aku merasakan ia sedikit mengejang. Ia menolehkan kepalanya sedikit.
“Jadi kamu sudah tahu?” aku merasakan suara tertahan dalam suaranya.
Dugaanku benar. Ini benar. Semua karena Fitra. Karena dia menyukai Fitra. Karena dia lebih memilih Fitra yang memiliki segala kelebihan. Dia memilih karena memang ada pilihan. Karena Fitra juga menyukainya. Mereka akan segera bersama.
Aku tahu sebentar lagi aku pasti menangis. Aku tak kan tahan dengan pembicaraan ini. Aku segera bangkit dan mencopot helm. Kuberikan padanya tanpa berani menatap matanya. Tanpa berpamitan lagi aku melangkahkan kakiku masuk ke rumah. Dan tak lama, aku mendengar suara khas vespanya itu meraum pergi. Tangisku pecah seketika.


Tepat satu bulan setelah kejadian itu, aku mendengar desas-desus dari kawanku bahwa mereka berdua menjalin hubungan. Aku tahu cepat atau lambat, mereka akan mengumbar kemesraan, tak peduli di manakah itu. Dan sejak itu, hubungan persahabatanku dengan Fitra memburuk. Ia tak pernah menelfon lagi, tak pernah mengajak jalan-jalan lagi, tak pernah mengajak berbicara kecuali terpaksa. Dan aku sangat menyesalinya. Aku menginginkan penjelasan darinya. Bukan sikap pengecutnya. Apakah ia takut aku membencinya? Atau bagaimana? Kalau boleh jujur, aku ingin dia meminta maaf padaku. Secara teknis, mereka berdua semakin dekat pada waktu aku masih berpacaran dengan Kak Riki kan?
Aku kecewa. Sangat kecewa. Fitra mendapatkan Kak Riki. Dan aku kehilangan keduanya. Cinta, maupun persahabatan.

Kulewati masa kuliahku dengan semangat tinggi. Kualihkan energi karena patah hati dengan lebih fokus pada kuliah. Hingga pada akhirnya aku bisa lulus lebih cepat dari teman-teman seangkatan. Bahagia datang saat itu. Rasa bangga yang besar sekaligus lega menyeruak rongga dadaku. Aku akan segera berpisah dengan mereka. No more bad day, no more sad day. It will be happy one.
Tinggal satu rintangan pahit lagi, wisuda.
Aku lulus bersama Kak Riki dan aku yakin Fitra akan datang untuk memberinya ucapan selamat. Saat itulah yang akn menjadi hantaman paling kuat. Worst for the last.

Seperti dugaanku, aku menemukan Fitra berdandan rapi menemani Kak Riki dalam senyum bahagianya. Sedangkan aku di sini, melemparkan senyum ke setiap orang seolah aku sangat bahagia. Ditemani keluarga yang berkali-kali membusungkan dada karena anak sulungnya dapat lulus sesuai harapan. Hoh..
Diam-diam aku mengendap-ngendap ke halaman belakang gedung yang sepi. Kuambil rokokku dari saku dan mengepulkannya dengan korek api kesayanganku. Aku menghirupnya lekat-lekat dan menghembuskannya dalam-dalam. Beberapa kali kulakukan sembari menghirup udara pagi yang beranjak siang.
“Selamat ya..” aku tak menoleh ke suara di belakangku yang telah amat kukenal. Fitra mendekatiku dan berdiri tepat di depanku. Aku tahu ia memandangku, mencoba menerawang mataku. Namun aku tak sedang berpikir, tak ada yang sedang kusembunyikan. Ia akan segera tahu usahanya sia-sia.
“Sejak kapan kau merokok?” kini ia membalikkan badan. Memandang gunung yang menjulang tinggi jauh di hadapan kami. “Sudah lama,” jawabku sembari mematikan rokokku ke batang pohon tempatku bersandar.
“Oh, aku tidak terganggu dengan baunya. Jangan sungkan,” katanya atas responku. Aku terdiam. “Aku sudah puas merokok. Kau tidak perlu merasa bersalah,” jawabku datar. Kini aku berjalan mendekatinya dan berhenti tepat di sampingnya. Aku tidak memandang wajahnya, mataku menajam ke arah tembok berlumut di depan kami.
“Bagaimanapun, aku merasa sangat bersalah..” katanya ketika kami sempat terdiam beberapa menit. Aku mengangguk, bagaimana ia sangat bersahabat dengan waktu hingga membuatku bosan menunggu saat-saat seperti ini datang??
“Meski aku tidak merebutnya darimu,” aku tertegun. O.. dia cukup berani berpikir demikian. Meski aku tidak merebutnya darimu? Halo nona, mohon lebih diperhatikan analisis waktu kejadiannya agar kau tidak menyesali kalimatmu di kemudian hari.
Tapi kupikir tak ada gunanya lagi menentang. “Memang tidak,” jawabku akhirnya. Aku tidak punya daya lagi untuk mengatakan kalimat yang telah kurancang beberapa tahun yang lalu untuknya. It’s expired.
“Kau semakin dingin..” ia menambahkan sedikit gelak dalam kalimatnya. “Aku tahu selama ini kau marah padaku,” ia memandangku dan menungguku mengalihkan pandangan padanya. “Maafkan aku, kaulah sahabatku yang terbaik selama ini..” ia membungkuk dalam layaknya orang Jepang meminta maaf. Ketika ia kembali tegak dan langsung menjauh, terlihat butir bening di sudut matanya.
Aku menatap punggung Fitra yang tengah berjalan pelan. Ia menungguku?
“Hei Fitra..” panggilku menyerah. Gadis itu berhenti seketika namun tidak berbalik. Aku berusaha keras menahan emosi atas beribu hal yang ingin kusampaikan.
“Aku hanya kecewa atas sikapmu.. Kalau kau suka dia, harusnya kau tidak membantuku mendapatkannya. Aku merasa ditusuk dari belakang. Itu saja,” jawabku kemudian. Sial. Aku tak berhasil mengatakannya dengan baik.
“Apakah kau memaafkanku?” tanyanya lagi. Aku kembali mendapati punggungnya ketika kulempar pandanganku ke arahnya. “Kau tahu sendiri aku tipikal orang pemaaf,” jawabku pelan. Namun ia berbalik cepat. Senyumnya mengembang, meski matanya telah sembab. Ia masih terlihat cantik meski maskaranya sedikit luntur.
“Apakah kita masih bersahabat?” tanyanya berharap. Aku mencoba tersenyum, kaku. “Teman,” jawabnku membuat sudut-sudut bibirnya turun.
“Aku tahu, aku tak boleh berharap lebih..” ia mulai terlihat sedih. Fitra menghirup nafas panjang dan menghembuskannya pelan. “Tapi itupun tak mengapa,” ia menatap mataku. “Terimakasih teman. Kau masih sahabat bagiku. Dan akan selalu begitu,” ia tersenyum dan berbalik. Kini langkahnya lebih ringan dan ceria. Dan kurasakan angin menghela rambut-rambutku yang berhasil keluar dari ikatan sanggul. Aku merasa lega. Dan alam menyambutnya.
Kupandangi langit biru di atas gedung. Aku siap menggapai cita-citaku. Aku siap menemukan cinta baru. Aku siap menemukan sahabat baru. Dan aku yakin, aku siap menerima undangan pernikahan mereka suatu hari kelak.
“Permisi,” suara berat dan rendah seseorang membuyarkan lamunanku. Aku menemukan seorang pemuda tampan lengkap dengan setelan jasnya tengah memandangku setengah bingung. Sexy.
“Bisa tolong beritahu aku, ini di daerah mana?” aku masih mengernyit heran dan menatapnya lekat-lekat. Kenapa ia berada di sini dan menanyakannya padaku? Ini halaman belakang gedung dan masih banyak orang waras di depan sana. Tapi?
Pemuda itu tersenyum. “Aku tersesat. Seharusnya ini wisuda adik perempuanku, tapi aku terlambat dan ternyata ia sekarang di acara yang diadakan jurusannya,” pemuda itu mencoba menjelaskan. Aku mengangguk-angguk. Angin itu semakin semilir di sekelilingku, seolah-olah membawa kenangan lamaku ikut bersamanya.
“Adikku di Fakultas Teknik. Teknik Arstitektur. Mungkin…” aku masih mengangguk-angguk ketika kemudian sadar hal bodoh apa yang tengah kulakukan.
“Oh, mungkin aku bisa mengantarmu,” jawabku kemudian dan menghampirinya. Ia nampak sangat lega.
“Terimakasih. Tapi apakah itu tidak merepotkanmu..?” tanyanya ketika aku telah sampai di hadapannya. Aku menggeleng cepat. Merepotkan? Ini kan kesempatan.
“Hanya beberapa blok dari sini. Keluargaku bisa menunggu sejenak,” jawabku berusaha mempersembahkan senyuman manis yang tak terkesan dibuat-buat. Ia semakin melebarkan senyumnya. Nampak lesung pipit di kedua pipinya. Secara fisik, ia jauh lebih sempurna daripada Kak Riki.
“Baiklah. Aku akan menelfon adikku dan memberitahukannya bahwa ada gadis cantik yang mau mengantarku padanya,” aku tersenyum mendengar celotehnya. Itu tak seperti gombalan, karena pipinya bersemu merah di atas kulit putihnya.
“By the way siapa namamu? Aku Surya,” ia mengulurkan tangannya yang besar. Kembali aku tak dapat menahan senyum. Kuulurkan tanganku dan meraih jabat hangatnya.
“Aku Bulan,”

Jangan mengejarnya jangan mencarinya
Dia yang kan menemukanmu Kau mekar di hatinya di hari yg tepat

Jangan mengejarku dan jangan mencariku
Aku yang kan menemukanmu Kau mekar di hatiku di hari yang tepat

Tidaklah mawar hampiri kumbang bukanlah cinta bila kau kejar
Tenanglah tenang dia kan datang dan memungutmu ke hatinya yang terdalam
Bahkan dia tak kan bertahan tanpamu

Sibukkan harimu jangan fikirkanku
Takdir yang kan menuntunku Pulang kepadamu di hari yang tepat

Tidaklah mawar hampiri kumbang bukanlah cinta bila kau kejar
Tenanglah tenang aku kan datang dan memungutmu ke hatiku yang terdalam
Bahkan ku tak kan bertahan tanpamu
(Sheila on 7 – untuk perempuan)

2 komentar:

  1. well, nice story.
    i think.
    but i love the drama queen story so much than this.

    keep writing,
    i'm waiting.
    hehe,,
    tell me if there something new.
    ganbatte!!!

    BalasHapus
  2. Hehehe..
    saya uda ada banyak sebenarnya,, mau satu per satu saya upload...

    BalasHapus