Rabu, 15 Februari 2012

I Do


I do

                Galih
Siang yang terik ketika mataku setengah terbuka, dari tirai jendela kamarku yang tertiup angin terlihat sosok seorang gadis yang menarik perhatianku. Kuputuskan untuk menahan semenit lagi rasa kantukku dan berjalan mendekati jendela. Tak membutuhkan waktu lama bagiku untuk segera tertarik pada pemandangan di depan rumah.
Gadis itu terlihat cantik. Menarik. Rambutnya yang dikuncir kuda memperlihatkan tengkuknya yang mulus. Ia mengenakan kaos putih bergambar owl dan dirangkap kemeja kotak-kotak berwarna merah dimana ujung-ujungnya berkibar seiring dengan gerakannya. Di telinganya bertengger headphone berwarna biru tua.
Hmm.. siapakah dia? Apa yang tengah ia kerjakan?
Kusenderkan kepalaku di bingkai jendela. Kuamati gerakan demi gerakannya. Ia sangat menarik di setiap saat. Apa yang membuatnya sedemikian menarik?
Sosok sinar matahari yang tengah berada tepat di atas langit memendarkan sosoknya secara sempurna. Dari jauh ia terlihat sangat berkilauan bak intan permata. Mungkin aku sedikit berlebihan menilainya, namun kurasa fatamorgana yang tengah kusaksikan tidak sepenuhnya salah. Keringat di pelipis, wajah, leher, dan lengan terbukanya lah yang membuat sinar mentari memendar di sekelilingnya, pikirku mencoba logis.
Ia memang nampak sedang bekerja keras. Berkali-kali ia keluar masuk rumah dengan mengangkat beberapa barang dan kardus ke dalam rumah dari mobil pick up putih yang diparkir di halaman rumahnya. Haruskah aku ke sana dan membantunya? Mungkin saja ia akan menawariku teh nanti? Dan akupun bertaruh pada diriku sendiri.
Maka, tak berapa lama setelah merapikan sedikit rambutku aku pun mulai keluar dan menghampirinya. Dengan sedikit gugup aku memperhatikan kekhusyukannya mengangkat barang. Apalagi ketika langkahku sudah berhenti tepat di depannya. Aku tak punya ide harus memulainya darimana. Namun ketika kemudian ia mulai menyadari kehadiranku, tatapan heran lah yang menyambutku.
“Sedang apa?” tanyaku kemudian. Goblok. Dari beberapa pertanyaan yang ingin kuajukan kenapa justru itu yang terlontar dari mulutku? Apakah aku tidak bisa mengucap salam dulu??
“Ya?” ia melepaskan headset di telinganya. Dari kedua speaker kecil itu terdengar sayup-sayup musik up-beat. Wah, ia mendengarkan sekeras itu. “Ada apa?” tanyanya lagi memecah keheningan kami. Aku kaget. Kemudian kuulangi pertanyaanku. Sama persis. Duh, bodohnya. Tuh kan, ia terlihat bingung memilih jawaban.
“Kau tinggal di depan?” ia balik bertanya. Dengan cepat aku mengangguk. Ia pun tersenyum. “Maka aku adalah tetangga barumu,” katanya kemudian tanpa menunggu reaksiku segera masuk ke dalam. Ahhh.
Aku tak kehabisan akal. Kuambil beberapa kardus sekaligus dari dalam pick up dan berjalan ke dalam rumah. Ketika ia berpapasan denganku kutangkap paras kaget dari wajahnya yang rupawan.
“Sedang apa kau?” tanyanya langsung. Aku berhenti melangkah. “Kau tetangga baruku, benar?” tanyaku balik bertanya. Ia mengangguk pelan. Dan seketika aku tersenyum. “Maka sebagai tetangga aku wajib membantumu,” kemudian aku kembali melangkah dengan tegap.
“Tapi...” ucapnya setengah berteriak. Aku berhenti dan menoleh ke belakang. Dengan memasang wajah innocent aku mengangkat alisku dengan penuh tanya.
“Kardusnya di taruh di sini saja,”
....
Sedikit malu aku menuruti perintahnya. Kuletakkan kardusnya sembari memutar otak, how to break the ice, huh?
PLOKK! Ia menepuk bahuku. Aku pun sedikit terkejut, namun kurasa aku cukup berhasil menyembunyikannya. “Jika kau begitu ingin membantuku, maka tolong angkat semua barang yang masih tersisa di pick up dan taruh di ruang tengah saja ya,” ia menyematkan senyum manisnya. Lagi-lagi ia membuatku terkejut. Gadis ini...
“Tidak masalah. Secangkir teh manis saja cukup untukku,” jawabku kemudian. Reaksinya sedikit lambat, untuk beberapa saat ia terdiam. Namun kedua jempolnya yang terangkat membuatku melanjutkan kembali pekerjaan baruku. Mengangkat kardus.
Belakangan kuketahui, gadis cantik itu bernama Amanda. Ia sama denganku, mahasiswa semester 5. Meskipun kami satu universitas, tapi dia berada di fakultas ekonomi dan mengambil jurusan akuntansi. Ia sengaja pindah ke rumah di depan karena alasan lokasinya yang lebih strategis dengan kampus. Orangtuanya sendiri tinggal di kota sebelah. Yang sedikit membuatku heran, kenapa ia memutuskan pindah di tengah-tengah masa belajar? Tapi tak masalah. Karena aku akan semakin betah di rumah. Seorang gadis telah mencuri hatiku.

Amanda
TING TONG!!
Suara bel berbunyi saat aku sedang berbicara dengan mama di telfon. Aku melirik jam dinding di hadapanku. Masih jam setengah 7 dan sudah ada yang bertamu?
“Sudah ya, Ma. Manda ada tamu.” Sahutku mengakhiri pembicaraan di telfon ketika bel berbunyi lagi. “Iya, Ma. Bye,” cepat-cepat kulempar hapeku di sofa dan setengah berlari ke depan untuk membuka pintu rumah.
Aku menemukan sosok lelaki yang kutemui kemarin dari balik pintu. Si tetangga depan rumah. Kenapa ia datang pagi-pagi begini? Ia tersenyum manis. Terlihat lesung di pipi sebelah kirinya. Rambutnya terlihat masih basah. Wangi parfumnya semerbak, wangi yang enak karena tidak terlalu kuat seperti parfum pria kebanyakan. Sepertinya ia baru selesai mandi.
“Sudah sarapan? Mamaku membuatkan sup jagung ayam. Masih hangat, lho..” cowok ini memberondongiku dengan suaranya yang berat. Kupandang mangkuk yang tengah ditunjukkannya. Aku tertegun. Namun tiba-tiba ia sudah berjalan melewatiku dan berjalan menuju dapur.
“Hari ini kuliah jam berapa?” tanyanya sembari begitu saja meletakkan mangkuk di tangannya ke meja makan. “Bentar lagi,” jawabku singkat, masih berdiri menyandar pintu. Dia nampak sumringah.
“Kebetulan sekali. Aku ada kuliah pagi, jam 7.30. Ayo bareng aja. Aku sudah siap kok, tinggal memanaskan mesin,” katanya. Aku diam dan berpikir. Kenapa dia seolah-olah sudah sangat akrab denganku. Apakah dia memang tipe orang seperti itu?
“Akan kutunggu sampai kau selesai sarapan,” jawabnya sembari menuju ke pintu. “Tidak usah,” kataku ketika dia hampir melewatiku. Dia berhenti. Tepat di depanku. Baru kusadari, bola matanya besar dan berwarna kecoklatan.
“Mamaku yang menyuruh,” katanya kemudian dengan tatapan matanya yang tajam. Aku pun menunduk. Merasa tidak nyaman dengan pandangannya.
“Kalau kamu gak mau, gak masalah. Aku pergi dulu,” jawabnya singkat. Ia segera berbalik pergi dan tak menoleh lagi.
“Lima menit!” jawabku setengah berteriak. Ia menghentikan langkahnya dan menoleh padaku. Tersenyum sembari mengangkat jempol tangannya. Tak bertanya lagi dan melanjutkan langkahnya. Sial. He does play well.

Galih.
Amanda adalah gadis yang sangat menarik. Otaknya yang encer, bicaranya yang sepatah dan seperlunya, tawanya yang lepas, senyumnya yang indah, langkahnya yang ceria, wajahnya yang innocent, dan sifatnya yang seolah membatasi diri. Kesulitan untuk mendekatkan diri padanya menjelma menjadi suatu tantangan bagiku. Suatu hal yang tak pernah kudapatkan saat mendekati gadis lainnya. Ada yang berbeda padanya. Yang membuat hari-hariku dipenuhi oleh sosoknya. Dan membuatku terbayang akan rumah indah yang diselimuti cahaya mentari, dengan sosok anak kecil berlarian kepadaku dan memanggilku ayah.
Maka, ketika kulihat ia keluar dari pintu rumahnya dari jendela kamar, dengan bersemangat dan setengah berlari aku menuju pintu. Kemudian dengan mencoba mengatur tempo agar tidak terlihat agresif, aku berjalan pelan menuju pagar.
“Amanda!” teriakku seketika begitu melihat wajahnya yang kurindukan setiap hari. Ia menoleh, dan tersenyum. Gawat, hatiku meluruh seketika. Oh God! Aku sedang jatuh cinta..
Ia pun menolehkan muka kembali dan berbicara pada seseorang di sampingnya. Baru kusadari, ia sedang ada tamu. Kuamati tamunya. Seorang pria. Berdasi, berkacamata, rambut rapi, tegap, lebih kurang 180 cm. Ia berbicara dengan sesekali tersenyum. Amanda tertawa dibuatnya, namun itu bukan tawa yang kutahu. Ia menutup tawanya dengan tangan. Sangat sopan. Tidak seperti biasanya. Apakah untuk menghormati tamu? Mungkin. Bagaimanapun ia manusia biasa.
Pria itu kemudian melambaikan tangan. Amanda membalasnya. Si pria masuk ke mobilnya. Amanda memandangnya, sampai mobilnya tak terlihat di ujung jalan. Ia terlihat melamunkan sesuatu seperginya pria itu. Hanya semenit. Kemudian ia berbalik pergi.
Ada yang aneh.
Penuh penasaran, aku menghampiri Amanda.
“Siapa tadi?” tanyaku sembari mensejajarkan langkah. Ia tersenyum.
“Kakak iparku,” jawabnya sambil membuka pintu rumah. Aku mengangguk-angguk dan mengikutinya ke dalam rumah. Aku mengambil apel di meja makan dan menaruh pantatku di kursi. Kuperhatikan ia yang tengah mengambil air putih dari kulkas dan meneguknya dengan kalap. Kuperhatikan ruang tamunya di seberang. Terlihat kado berpita merah berada di atas meja.
“Kamu ulang tahun?” tanyaku dengan penuh penasaran. “Enggak,” jawabnya sembari menaruh pantatnya di meja makan. Aku menggigit apelku tanpa tahu harus bertanya apalagi. Masih banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan, tapi entah mana yang harus kukeluarkan terlebih dahulu. Penyakit.
“Kakakmu cantik?” pertanyaan bodoh. Sh*t.
“Cantik,” ia tersenyum. “Tapi sudah berlabel,” lanjutnya sembari mengambil apel di tanganku dan kemudian menggigitnya. Sial. Ia menggodaku.
“Jadi penasaran, kenapa ia gak kesini..” aku menghembuskan nafas seolah menyesali keadaan. Namun kusesali tanggapanku tersebut saat Amanda tak kunjung merespon. Ia terhenyak sesaat, mungkin aku telah melukai perasaannya? Salah langkah.
“Jadi, itu kado untuk siapa?” tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku memandang kado berpita merah di meja tamu tersebut dan mengira-kira barang apa yang dibungkusnya.
“Untukku,” Amanda turun dari duduknya dan berjalan ke ruang tamu. Ia mengambil kadonya dan duduk di sofa. Tak sabaran ia menarik pita dan mencoba merobek bungkusnya. Aku tak mau kehilangan moment dan berjalan ke ruang tamu. Aku mengambil tempat di meja tamu dan menghadap Amanda. Aku menunggu dengan penasaran. Kado untuknya? Bukan kado ulangtahun, berarti kado apa? Dari siapa? Kakak atau orang tuanya? Dan apa kira-kira isinya?
“Buku..” Amanda berdesis pelan memandang kado yang sudah berhasil dibukanya. Dibukanya buku tersebut pelan. Itu bukan buku seperti kebanyakan. Itu sejenis agenda. Dan itu bukan buku baru. Aku memandang Amanda. Gadis itu membuka pelan-pelan lembar demi lembar buku itu. Dia tersenyum, tertawa, tertegun, dan meneteskan air mata. Apa yang diceritakan buku itu hingga membuatnya berekspresi sedemikian rupa?
Amanda semakin tekun dengan buku di tangannya. Seolah ia lupa bahwa aku duduk tepat di depannya. Menunggunya bercerita. Menunggunya dengan gelisah dan tak tahu harus berbuat apa. Mati gaya.
“Haha, dasar Bimo..” dalam tangisnya, ia tertawa. Siapa Bimo? Apakah ia si pemilik buku? Apakah ia orang spesialnya? Apakah ia lebih ganteng?
“Pacarmu?” tanyaku penasaran. Ia terhenyak. Begitu mengetahui aku berada di depannya, ia segera menutup bukunya, menghapus air matanya, dan berdiri menjauh menuju ke kamarnya. Sial.
Aku berdiri, mengikutinya ke kamar. “Kenapa lari?” aku berusaha tak berteriak. Menyembunyikan emosiku. Kenapa ia tidak menganggap keberadaanku. Sial.
Aku berdiri di depan pintu kamarnya yang separoh tertutup. Aku tahu ia di dalam. Aku tahu ia mungkin ingin sendiri. Tapi aku masih penasaran dengan semuanya. Aku benar-benar tidak mau meninggalkan moment ini begitu saja.
“Kau pernah bilang bahwa kau tidak punya pacar kan.. Berarti mantanmu ya?” aku mondar-mandir di depan kamarnya. “Dimana dia sekarang? Itu buku diarinya? Kenapa ia tidak bicara langsung saja?” aku terhenyak. Apakah pertanyaanku tidak terlalu kasar? Sial.
“Dia ganteng ya? Aku jadi penasaran kayak apa sih orangnya.. Dia baik nggak? Tapi kalau baik, kenapa kalian harus berpisah? Hmm..” aku bergumam. Memutar otak. “Dia tipe yang seperti apa? Lucu? Dingin? Romantis? Hei man.. Dia gak lebih ganteng dari aku kan?”
“Apa pedulimu?” kali ini Amanda membuka pintu dan muncul dengan mata sembab. Aku berhenti dan menatapnya dalam-dalam. “Penasaran,” jawabku sembari mencoba tersenyum. Ia tersenyum.
“Apakah kamu gak terlalu ikut campur?” katanya sembari menutup pintu. “Aku ingin sendiri,” katanya setengah berteriak.

Amanda
“Aku hanya ingin kamu membagi lukamu..” ucapan Galih membuatku terhenyak. Perlahan aku membuka pintu kembali. Kudapati matanya yang sayu. “Kenapa?” tanyaku kemudian.
“Aku...” cowok itu mencoba mencari-cari kata-kata yang pantas. Lagi-lagi kikuk. “Aku ingin kamu percaya padaku. Aku ingin kamu membuka dirimu padaku..” jawabnya kemudian.
“Iya, tapi kenapa bodoh?!” jawabku tak tahan dengan semua ini. Ia melotot. Tangannya mendekap kepalaku. Ia mendekatkan wajahnya padaku, dan menatap mataku lekat-lekat.
“Masih belum mengerti?? Aku mencintaimu, bodoh!” jawabnya kemudian.
Aku terhenyak. Jadi, sifat anehnya selama ini...
“Aku penasaran. Aku ingin tahu segalanya tentang kamu. Aku ingin membuka hatimu padaku. Aku ingin kamu melupakan Bimo atau siapa lah. Aku ingin kamu memandangku..” katanya lagi. Aku berusaha menepis tangannya dan terduduk setelah berhasil melepaskannya dari kepalaku.
“Aku..masih menyukai Bimo, meskipun..” kataku pelan. Air perlahan menetes dari mataku. Aku tak sanggup melanjutkannya.
“Meskipun aku akan menerimamu apa adanya?” ia berusaha melanjutkannya. Aku tertawa mendengar penuturannya. “Meskipun ia sudah menjadi suami kakakku, bodoh!”

Galih.
Kali ini aku terhenyak. Sangat lama.
Jadi, laki-laki tadi adalah Bimo? Dan dia adalah orang yang disukai gadis ini? Itu cukup menjawab pertanyaanku tadi. Kenapa ia bersikap sangat sopan terhadap iparnya tadi. Karena ia Bimo. Karena ia orang yang disukai Amanda. Karena ia ingin terlihat cantik dan sopan di depannya. Sial.
Dan kenapa laki-laki itu tidak datang bersama istrinya ke sini. Karena ia Bimo. Karena ia orang yang disukai Amanda. Karena ada sesuatu yang terjadi di antara mereka. Yang mungkin disembunyikannya dari kakaknya..
“Apakah kakakmu tahu?” tanyaku kemudian. Ia menggeleng pelan. Aku melihat bahunya naik turun. Ia terisak. Pelan aku ikut duduk di depannya. Kudekap ia dengan erat. Bagilah denganku man..
“Apakah kalian baru saja putus tadi?” tanyaku kemudian. Ia menggeleng. Aku mendekapnya semakin erat. Aku tak peduli. Meskipun ia menyukai orang lain, meskipun orang itu adalah suami kakaknya sendiri, aku tak peduli. Aku menyukai gadis ini. Aku tak ingin ia terluka. Aku ingin melakukan apa saja yang membuatnya nyaman, meskipun itu melukaiku.
“Sebelum menikah..” ucapnya lirih. “Ya?” aku menatapnya. Kuusap air matanya dengan lembut. Kurapikan poni yang menutup matanya.
“Aku putus dengannya sebelum ia menikah dengan Kak Alex..”
Aku terkejut. “Kakakmu seorang pria?”
Ia tertawa dan memukul dadaku pelan. Hmm.. setidaknya ia tersenyum.
“Ia memilih bersama kakak, meskipun ia tidak mencintainya..” kali ini air matanya menetes dengan lancar. Ia nampak sulit bercerita di antara isakannya. Amanda, aku melihat sisimu yang lain..
“Ia.. tidak mau menyakiti kakak yang rapuh.. Ia bilang, aku bisa berdiri sendiri. Tapi kakak tidak bisa hidup tanpanya.. Ia berjanji, tak akan melupakan perasaannya terhadapku. Ia masih mencintaiku..” terbata-bata Amanda bercerita. Aku marah.
“Laki-laki apa itu!” kupeluk ia erat. Mengelus punggungnya yang bergetar hebat. “Lupakan dia..” kataku kemudian.
“Sama..” ucapnya diantara isaknya. Aku memperhatikan wajahnya. Kutatap bola matanya yang diselimuti air bening. “Apa yang kamu ucapkan sama dengan yang dia ucapkan..” aku tersenyum getir. Itu bukan pujian, itu pukulan.
“Dia memintaku melupakannya, karena dia akan menjadi ayah. Kakakku hamil..”
“Itu yang dikatakkannya tadi?” tanyaku lembut. Ia menggeleng. “Itu tertulis di halaman terakhir bukunya.. Ia tak sanggup mengucapkannya secara langsung..”
Aku tertawa sinis. “Kamu mencintai laki-laki payah..” Gadis itu mengangguk. Ia tertawa dan mengusap air matanya dengan kasar.
“Di bukunya tertulis, bagaimana perasaan kesalnya terhadapku sewaktu pertama bertemu. Kemudian bagaimana perasaan itu berubah menjadi sayang. Dan bagaimana ia bertemu Kak Alex yang mencintainya dengan tulus. Dan bagaimana ia tak sanggup meninggalkan Kak Alex pun tak sanggup berhenti mencintaiku. Dan bagaimana ia harus melakukannya meski telah membina rumah tangga dengan Kak Alex sampai ia tahu bahwa kakak sedang mengandung benihnya. Dan bagaimana rasa tanggung jawab itu berubah menjadi cinta.. Ia mencintai kakak.. Ia sudah mencintai kakak” Amanda tertunduk. Kutatap air matanya yang menetes ke lantai membentuk genangan kecil.
“Dia lebih payah dari yang kukira..” ucapku mendengar penuturannya. Kuharap ia tidak menyesali kakak iparnya mendengar pendapatku sebagai kaum adam.
“Aku tak tahu harus marah atau kecewa. Aku ingin marah karena ia memilih kakak namun tetap mencintaiku. Ia mengkhianati kakakku. Tapi aku juga kecewa karena akhirnya ia mencintai kakak setelah sikapnya yang seolah memberiku harapan. Aku..”
He’s not propered being loved by you!!” aku berteriak tak tahan. Amanda menatapku. Ia terlihat sangat kacau.
“Dia telah memilih jalannya, namun masih berani berkata bahwa ia mencintaimu? Bukankah itu sangat tidak pantas? Kalau ia mencintaimu, maka ia semestinya ingin membuatmu bahagia. Setidaknya ia berdoa agar kamu mendapatkan orang yang lebih baik darinya karena hanya itulah yang bisa ia lakukan. Tidakkah kamu berpikir bahwa ia sangat egois?”
Amanda tertegun. Tak berapa lama ia mengangguk.
“Akan kubantu kau melupakannya..” kataku sambil tersenyum. Ia memandangku heran. Aku tahu pertanyaan yang ada di hatinya.

Amanda.
“Akan kubantu kau melupakannya..” Galih tersenyum. Aku heran. Bagaimana caranya? Dan belum sempat aku berucap, ia telah merenggut daguku dan mencium bibirku.
Aku tertegun. Aku bahkan tak berpikir untuk menolaknya. Ada apa ini? Apakah aku sangat murahan?
Someday, I’ll make you say... ‘I do’..” lagi-lagi ia tersenyum. Aku tak kuasa menatapnya. Bukankah ia seharusnya meminta maaf? Bukankah aku seharusnya marah?
“Kenapa?”
“Karena cinta tak butuh alasan. Kalau kau tua dan gendut apakah aku tidak lagi mencintaimu? Tidak benar. Kalau senyummu tidak lagi indah apakah aku tak mencintaimu? Tidak benar. Aku mencintaimu, dan suatu hari kau akan mencintaku..” lanjutnya tersenyum. Indah.
“Kau terlalu percaya diri..” aku tersenyum menjawabnya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar