Sabtu, 22 September 2012

catatan:
ini adalah tugas saya dalam sebuah mata kuliah. jadi mohon tidak dipergunakan secara tidak bertanggungjawab. copy paste data diperbolehkan (hanya DATA) dengan menyertakan sumber. biar artikel di internet nggak sama semua ya :) selamat membaca :))


Keefektifan Moratorium Pegawai Negeri Sipil
Studi Kasus Provinsi Jawa Barat
                                                                           
A.    Permasalahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jawa Barat
Berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dengan Daerah, sumber penerimaan daerah terdiri dari 2, yaitu pendapatan daerah dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, lain-lain pendapatan.
Sumber PAD adalah pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, serta komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
Ditilik dari penjelasan tersebut, maka seharusnya PAD terbesar berasal dari hasil pengelolaan dan penjualan kekayaan daerah serta penjualan ataupun pengadaan barang dan jasa daerah sebagai bentuk otonomi daerah. Namun seperti kebanyakan kasus di daerah lain, PAD terbesar Provinsi Jawa Barat justru berasal dari pajak daerah dengan kontribusi hingga 94% (http://smeru.or.id diakses 15 April 2011). Pajak kendaraan bermotor (PKB) menjadi penyumbang PAD terbesar bagi Provinsi Jawa Barat dengan prosentase hampir 40% (http://www.tribunnews.com/2011/04/20/pajak-kendaraan-penyumbang-terbesar-pad-jabar-dan-banten diakses 21 September 2011). Pajak dapat diartikan sebagai pungutan yang dilakukan oleh pemerintah dan bersifat memaksa. Memang tidak dapat dipungkiri keberadaan pajak ini sangat membantu baik dalam hal pembatasan kekayaan individu/ badan usaha melalui disinsentifnya, maupun dalam pemasok pendapatan asli daerah. Namun di lain sisi, dapat dilihat bahwa daerah masih belum dapat mengelola sumber daya alam dan manusianya menjadi sesuatu yang demikian bernilai dan mampu memberikan kontribusi yang lebih dibandingkan pajak daerah itu sendiri.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sumber pendapatan daerah juga dapat berupa dana perimbangan. Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana ini terdiri dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan dana bagi hasil.
Dana yang berasal dari pemerintah pusat ini sesungguhnya berasal dari dana yang dikumpulkan dari bagian hasil penerimaan PBB dan bea perolehan hak atas bumi dan bangunan (Nawatmi, 2006 dalam Bawono, 2008). Pemberian dana ini memiliki tujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dan pemerintahan daerah dan antar-pemerintah daerah. Sayangnya dalam kebanyakan praktek, dana alokasi umum yang diberikan pemerintah pusat ini sering menjadi sumber pendanaan utama pemerintah daerah dalam membiayai operasional pembangunan di daerahnya, bahkan di beberapa daerah proporsi DAU dalam PAD dapat mencapai 80% (http://www.menpan.go.id/index.php/liputan-media-index/752-moratorium-belanja-pegawai diakses 20 September 2011). Hal tersebut juga terjadi di Provinsi Jawa Barat. Sejak pelaksanaan otonomi daerah, transfer dana dari pemerintah pusat justru semakin tinggi yaitu dari 58,17% menjadi 67,16% (http://repository.ipb.ac.id diakses 17 April 2011). Senada dengan hal tersebut, proporsi PAD terhadap APBD pada tahun 2000 meningkat dari 31% menjadi 48,1% (http://smeru.or.id diakses 15 April 2011). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1
Realisasi Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota
Rata-data per Tahun di Jawa Barat Tahun 1995 – 2005 (Tahun Dasar 1993)
Uraian
Sebelum Desentralisasi (1995 – 2000) (milyar rupiah)
Sesudah Desentralisasi (2001 – 2005) (milyar rupiah)
Pendapatan Asli Daerah
108,03 (18,78)
358,26 (10,11)
Pajak Daerah
40,05 (6,96)
146,96 (4,15)
Retribusi Daerah
56,11 (9,76)
147,85 (4,17)
Laba BUMD
2,21 (0,38)
6,22 (0,20)
PAD lainnya
17,98 (3,13)
55,99 (1,58)
Dana Perimbangan
426,41 (74,15)
2.859,45 (80,67)
Bagi Hasil
91,89 (15,98)
462,83 (13,06)
Bagi Hasil Pajak
39,40 (13,81)
388,86 (10,97)
Bagi Hasil SDA
12,49 (2,17)
73,98 (2,09)
DAU & DAK
3334,52 (58,17)
2.396,62 (67,61)
Pinjaman Daerah
3,32 (0,58)
15,61 (0,44)
Sisa Anggaran
21,57 (3,75)
154,94 (4,37)
Pendapatan lain
7,48 (1,3)
156,3 (4,41)
TOTAL
575,1 (100)
3.5444,54 (100)
Sumber : Statistik Keuangan Daerah Kabupaten/Kota , berbagai tahun terbitan
Ket. Angka di dalam ( ) merupakan presentase
Pendapatan daerah baik dari PAD, dana perimbangan, maupun dana lainnya, digunakan pemerintah daerah untuk membiayai belanja daerah. Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, belanja daerah adalah semua  kewajiban  daerah  yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang  bersangkutan.
Belanja  pemerintah  daerah  dibagi  dalam  2 bentuk  seperti  yang  terdapat  dalam  Laporan  Realisasi  Anggaran  dan Pendapatan Belanja Daerah, yakni sebagai berikut :
1)      Belanja Rutin
Belanja  yang  wujudnya  tidak  berupa  fisik  dan  terjadi  secara  terus menerus sepanjang  periode  anggaran. Sebagai  contoh  belanja  gaji  dan horarium pegawai, belanja perjalanan dinas, belanja barang dan belanja  lain-lain. Belanja  rutin  umumnya  digunakan  untuk  membiayai  operasional pemerintah  daerah  dan  hasilnya  tidak  dapat  dinikmati  secara  langsung  oleh masyarakat.
2)      Belanja Pembangunan
Selain  dari  belanja  rutin  pemerintah  juga mengeluarkan  belanja  yang sifatnya tidak rutin dan umumnya menghasilkan wujud fisik yang manfaatnya lebih dari satu tahun. Belanja pembangunan dikeluarkan oleh pemerintah yang mana  manfaatnya  dapat  dirasakan  secara  langsung  oleh  masyarakat  karena memang  belanja  pembangunan  dimaksudkan  untuk  peningkatan  pelayan publik. Belanja  pembangunan  ini  pada  akhirnya  akan menghasilkan  kapital publik dan dapat dinikmati secara  langsung oleh masyarakat. Sebagai contoh belanja  untuk  pembangunan  jalan,  gedung-gedung  sekolah,  rumah sakit, pembangunan  jembatan  dan  sebagainya.
Harus dicermati dalam hal ini bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah belanja pegawai tertinggi setelah DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp 1,62 triliun sementara DKI Jakarta adalah Rp 7,58 triliun. Kemudian Provinsi Jawa Timur berada pada posisi ke-3 yaitu mencapai Rp 1,48 triliun (http://informasicpnsbumn.com/berita/beberapa-provinsi-dengan-belanja-pegawai-tertinggi.html diakses 21 September 2011). Berdasarkan data tersebut maka dapat diketahui bahwa jumlah tersebut bukan suatu hal yang dapat dibanggakan. Hal ini dikarenakan jumlah pegawai tidak sebanding dengan kapabilitas yang dimiliki untuk menjalankan pemerintahan yang bersih dan pintar. Semakin banyaknya jumlah pegawai maka biaya belanja pegawai semakin tinggi.
Beban belanja pegawai pada APBN memang semakin berat. Pada RAPBN 2012, belanja pegawai menjadi alokasi belanja tertinggi yaitu sebesar Rp 215,7 triliun, mengalahkan belanja subsidi yang selama ini mendominasi. Hal ini dapat terjadi akibat adanya kebijakan kepegawaian yang tidak memperhatikan dampaknya terhadap anggaran negara. APBN harus membiayai perekrutan pegawai baru, pemberian gaji ke-13, kenaikan gaji pokok sebesar 5 – 20% sejak tahun 2006, kenaikan berbagai tunjangan dan pemberian tambahan uang makan, serta pembayaran penuh dana pensiun yang sebelumnya dibagi dua dengan Taspen sejak tahun 2009 (Nota Keuangan RAPBN 2012, IV-80) (http://www.menpan.go.id/index.php/liputan-media-index/752-moratorium-belanja-pegawai diakses 20 September 2011).
Beban APBN yang semakin sulit dipikul akibat pembengkakan biaya belanja pegawai ini juga disebabkan oleh kebijakan pemberian remunerasi yang memiliki tujuan mereformasi birokrasi. Kebijakan ini merupakan pemberian penghargaan atau balas jasa pada pegawai yang dianggap berprestasi dan berdaya saing tinggi. Kebijakan ini dimulai tahun 2007 dan diterapkan di tiga kementeriaan / lembaga yang kemudian di tahun 2011 diterapkan pada 14 kementerian / lembaga. Untuk tahun 2010 saja pemerintah harus menggelontorkan dana sebesar Rp 13,4 triliun demi remunerasi.
Belanja pegawai juga dilakukan terhadap Lembaga Non-struktural (LNS). Berdasar Laporan Keuangan Pemerintah Pusat pada tahun 2007, kurang lebih terdapat 76 unit LNS dengan biaya Rp 483,3 miliar. Namun pada tahun 2010, terdapat 101 LNS dengan beban belanja pegawai sebesar 1,87 triliun.
Kebijakan anggaran dan kepegawaian yang tidak selaras dengan pusat juga memperburuk kondisi anggaran daerah. Seperti yang sempat dijelaskan sebelumnya, dana perimbangan yang diberikan oleh pusat memberikan proporsi hingga 80% terhadap total pendapatan daerah, sementara lebih kurang 68% dana alokasi umum (DAU) digunakan untuk belanja pegawai dan tunjangan guru. Oleh karena itu, tidak ada insentif yang diberlakukan untuk pemerintah daerah dalam merampingkan birokrasi dan meningkatkan pendapatan. Kebijakan DAU juga tidak memberikan disinsentif bagi pemekaran daerah. Daerah otonom baru tentu membutuhkan pegawai baru sehingga DAU menjadi tumpuan biaya baik dari belanja rutin maupun belanja pembangunan. Akibatnya, penerimaan DAU berkurang dari Rp 358 milyar pada tahun 2008 menjadi Rp 351,7 milyar pada tahun 2009 (Nota Keuangan, 2011) (http://www.menpan.go.id/index.php/liputan-media-index/752-moratorium-belanja-pegawai diakses 20 September 2011).
Melihat hal tersebut, maka mulai tanggal 1 September 2011, kebijakan moratorium pegawai negeri sipil resmi diberlakukan hingga 16 bulan ke depan atau hingga 31 Desember 2011. Kebijakan ini ditetapkan melalui surat keputusan bersama yang ditandatangani Menteri Keuangan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Menteri Dalam Negeri. (http://www.menpan.go.id/index.php/liputan-media-index/752-moratorium-belanja-pegawai diakses 20 September 2011).
B. Moratorim PNS
Moratoirum ini awalnya diusulkan sendiri oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia yang kemudian disetujui oleh tim reformasi birokrasi. Moratorium adalah tidak dilakukannya pengangkatan atau pekrutan pegawai negeri sipil selama sementara waktu. Hal ini merujuk pada jumlah PNS di Indonesia periode 13 Mei 2011 yang tercatat sebanyak 4.708.330 orang atau 1,98% dibanding jumlah total penduduk sebesar 237 orang. Adapun jumlah PNS pusat mencapai 916.493 orang atau sekitar 19,5% sementara sebesar 3.791.837 orang atau 80,5% merupakan PNS daerah. (http://informasicpnsbumn.com/berita/meskipun-ada-moratorium-pns-pegawai-honorer-tetap-diangkat-menjadi-pns.html diakses 20 September 2011).
Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, aturan moratorium ini tidak berlaku bagi pegawai pelayanan publik dan sisa pegawai honorer yang belum dinagkat serta pegawai tidak tetap. Moratorium juga tidak dikenakan bagi PNS yang bersifat pelayanan publik, misalnya tenaga pendidik, tenaga perawatm UPT kesehatan pelabuhan, pengamat meteorologi dan goefisika dan lain-lain. Hal ini dikarenakan masih banyak daerah-daerah tertinggal yang membutuhkan tenaga-tenaga tersebut (http://www.antaranews.com/berita/275774/moratorium-pns-kurangi-beban-belanja-pegawai diakses 20 September 2011).
Program moratorium PNS ini diperkirakan dapat menghemat anggaran sekitar Rp 3,2 triliun. Menurut Menteri Dalam Negeri, jika 100 ribu pegawai dikali dengan Rp 2 juta untuk setiap gaji pokok dan dikalikan 16 bulan. Apalagi pada tahun ini kurang lebih terdapat 107 pegawai yang menyatakan pensiun. (http://www.menpan.go.id/index.php/liputan-media-index/752-moratorium-belanja-pegawai diakses 20 September 2011).
Selama masa moratorium, jumlah kebutuhan PNS direncanakan akan ditata sesuai dengan jabatan dan beban kerja. Pemerintah pusat dan daerah akan melakukan redistribusi pegawai sesuai kompentensi yang dimiliki. Apabila dalam proses redistribusi tersebut ditemukan PNS yang tidak dapat disalurkan, maka pegawai yang bersangkutan ditawarkan untuk pensiun dini atau diberhentikan dengan hormat dengan tetap mendapat hak-hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. (http://www.antaranews.com/berita/275774/moratorium-pns-kurangi-beban-belanja-pegawai diakses 20 September 2011)
C. Keefektifan Moratorium PNS
Moratorim pegawai negeri sipil ini sejujurnya merupakan hal yang baik. Dalam praktek di lapangan banyak PNS yang tidak bekerja sebagaimana mestinya. Entah itu kasus korupsi seperti yang terjadi pada Gayus yang notabene merupakan pegawai di Kementerian Keuangan yaitu Ditjen Pajak sendiri, maupun kasus dimana PNS tidak dapat melakukan tugasnya dengan baik dan melimpahkannya pada pegawai honorer sehingga mereka dapat berleha-leha. Kasus umum lainnya adalah para pegawai tidak cukup cekatan dalam melayani masyarakat sehingga banyak yang merasa kecewa terhadap kinerja mereka. Terkadang dalam instansi-instansi pemerintahan, masyarakat harus membayar sejumlah uang untuk melancarkan proses pelayanan mereka di luar pungutan yang seharusnya.
Moratorium juga bisa menjadi sangat efektif jika para pegawai negeri sipil dapat didistribusi sesuai dengan bidang dan kemampuan masing-masing sehingga belanja daerah tidak sia-sia dan dapat lebih bermanfaat. Pengurangan jumlah pegawai-pegawai yang kurang berkompeten setelah adanya moratorium tersebut dapat menghemat biaya anggaran dan dapat dialokasikan untuk belanja pembangunan yang dapat bermanfaat secara langsung bagi masyarakat.
Selain itu, birokrasi pemerintahan dapat lebih ramping dan terstruktur sehingga diharapkan tidak ada lagi pegawai negeri sipil yang menganggur di kantor atau menyuruh pegawai honorer untuk mengerjakan pekerjaan mereka.
Namun, di sisi lain moratorium dianggap kurang tepat sasaran. Hal ini dikarenakan bengkaknya belanja APBN bukan dikarenakan besarnya jumlah PNS yang ada, namun besarnya dana yang digelontorkan untuk setiap pegawai. Dalam kajian yang dilakukan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, rata-rata kenaikan jumlah pegawai dalam 5 tahun terakhir adalah 2%, sementara kenaikan biaya belanja pegawai jauh lebih signifikan yaitu 20%. Hal ini berarti beratnya belanja pegawai lebih dikarenakan semakin meningkatnya ongkos pegawai dibandingkan dengan pertumbuhan jumlah pegawai.
Moratorium pegawai negeri sipil ini juga diperkirakan kurang dapat terealisasi sebagaimana mestinya. Terbukti dengan pengalokasian dana belanja pegawai dalam RAPBN 2012 justru meningkat menjadi Rp 32,8 triliun. Di dalam rencana APBN tersebut juga ada pengalokasian gaji bagi tambahan pegawai baru (Nota Keuangan RAPBN 2012, IV-205) (http://www.menpan.go.id/index.php/liputan-media-index/752-moratorium-belanja-pegawai diakses 20 September 2011).
Kebijakan moratorium PNS dan membengkaknya beban belanja pegawai ini seharusnya ditanggapi dengan mengkaji ulang pemberian remunerasi dan struktur birokrasi pemerintahan yang semakin gemuk karena jumlah pegawai yang melimpah. Pemberian remunerasi seharusnya diikuti dengan peningkatan produktivitas dan kapabilitas pegawai, dan bukan menjadi kedok kasus-kasus korupsi seperti yang terjadi pada Gayus Tambunan. Pegawai yang tidak produktif dan kompeten, serta memiliki kekayaan yang tidak wajar seharusnya segera ditangani dengan baik sehingga dana yang diperoleh dari hasil tersebut dapat dialihkan ke kebutuhan belanja daerah yang belum terlaksana.
Adapun Provinsi Jawa Barat sendiri pada umumnya akan mengikuti kebijakan pusat untuk tidak menerima CPNS baru dari jalur umum. Hal ini dikarenakan jumlah pegawai yang sudah mencukupi. Sejak tahun 2006 hingga 2011 jumlah tenaga kerja kontrak atau honorer yang sudah diangkat Pemerintah Provinsi Jawa Barat adalah 4000 orang. Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga berencana untuk merampingkan birokrasi pemerintah dengan program pensiun dini dengan target minimal 100 PNS dalam 2 tahun.
Sementara itu hal yang menarik terjadi di Kabupaten Sukabumi yang masih masuk dalam wilayah pemerintahan Provinsi Jawa Barat. Pemerintah Kabupaten Sukabumi menolak penerapan moratorium PNS dengan alasan masih kekurangan pegawai. Kabupaten terluas se-Jawa dan Bali ini hanya memiliki 16.300 orang PNS sementara rata-rata secara nasional, jumlah pegawai dibandingkan dengan jumlah penduduk adalah 2%. Penduduk Kabupaten Sukabumi sendiri berjumlah 2,3 juta orang sehingga secara ideal dibutuhkan 23 ribu orang pegawai. Dengan jumlah pegawai yang ada, Pemerintah Kabupaten Sukabumi menggolontarkan dana hingga Rp 800 milyar.
Lain halnya dengan pemkab, pendapat berbeda dilontarkan oleh DPRD Kabupaten Sukabumi. DPRD kabupaten tersebut justru mendukung adanya moratorium karena diperkirakan dapat menghemat anggaran belanja pegawai. Dalam APBD 2011, sebesar 70% belanja daerah digunakan untuk belanja rutin atau tidak langsung, salah satunya adalah belanja pegawai, sementara sisanya dianggarkan untuk belanja pembangunan atau langsung dapat dirasakan oleh rakyat (http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2011/07/28/pemkab-sukabumi-tolak-moratorium-cpns diakses 21 September 2011).
Terlepas dari keseluruhan hal tersebut, kebijakan apapun yang direncanakan seharusnya menempatkan kesejahteraan rakyat dalam kepentingan utama karena pegawai bekerja untuk melayani rakyat dan bukan untuk menyengsarakan rakyat. Apalagi dengan adanya kebijakan mengenai moratorium dan otonomi daerah, merupakan kesempatan untuk setiap daerah otonom memperbaiki kinerja birokrasi pemerintahan masing-masing sehingga tidak ada lagi kasus korupsi di tingkat daerah (maupun pusat), serta tidak ada lagi kasus pegawai yang tidak berkompeten dan berleha-leha dalam jam kerjanya. Tujuan akhirnya tetap pada kesejahteraan masyarakat dimana masyarakat dapat bangga dan puas terhadap kinerja pemerintah daerahnya.
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2009. IPB : Gambaran Umum, Kondisi Fiskal, Kemiskinan, dan Ketahanan Pangan di Jawa Barat. (online)  (http://repository.ipb.ac.id diakses 17 April 2011).
Anonymous. 2011. Beberapa Provinsi Dengan Belanja Pegawai Tertinggi. (online) (http://informasicpnsbumn.com/berita/beberapa-provinsi-dengan-belanja-pegawai-tertinggi.html diakses 21 September 2011).
Anonymous. 2011. Meskipun Ada Moratorium PNS, Pegawai Honorer Tetap Diangkat Menjadi PNS. (online) (http://informasicpnsbumn.com/berita/meskipun-ada-moratorium-pns-pegawai-honorer-tetap-diangkat-menjadi-pns.html diakses 20 September 2011).
Saputra, Desy. 2011. Moratorium PNS Kurangi Beban Belanja Pegawai. (online) (http://www.antaranews.com/berita/275774/moratorium-pns-kurangi-beban-belanja-pegawai diakses 20 September 2011).
Suhendi, Adi & Johnson Simanjuntak. 2011. Pajak Kendaraan Penyumbang Terbesar PAD Jabar dan Banten. (online) (http://www.tribunnews.com/2011/04/20/pajak-kendaraan-penyumbang-terbesar-pad-jabar-dan-banten diakses 21 September 2011).
Usman, Syaikhu, Nina Toyamah, M. Sulton Mawardi, Vita Febriany, Ilyas Saad. 2002. Otonomi Daerah dan Iklim Usaha: Kasus Tiga Kabupaten di Jawa Barat. Lembaga Penelitian SMERU. (online) (http://smeru.or.id diakses 15 April 2011).

Shoutbox

Tidak ada komentar:

Posting Komentar